2. Keresahan Tifanny

3 0 0
                                    

Tifanny tersenyum melihat realisasi masakan yang sudah dirancangnya sejak pagi. Kini menu buka puasa sudah tersedia di atas meja. Setelahnya Tifanny ke teras untuk menunggu kepulangan Fadil.  Sesekali, bibir perempuan itu merapal zikir.

Sepuluh menit kemudian, Tifanny mulai pegal karena hanya duduk, diam di tempat. Akhirnya ia memutuskan untuk bangkit dan menggerakkan tangan merambat dari tembok ke tembok dengan kaki yang diseret.

Kini, kakinya sudah menunjukkan progres menuju kesembuhan. Tifanny sudah dibolehkan kembali belajar berjalan secara perlahan.

Namun, di tengah keseriusan Tifanny dalam belajar, percakapan dua orang perempuan paruh baya mengusik indera pendengarannya.

"Eh, si Mas Fadil kok mau ya dapat istri yang susah kayak gitu? Mana nggak bisa apa-apa lagi, bikin malu nggak." Ucap salah satunya begitu berjalan melewati rumah Tifanny, sambil kedua matanya melirik penuh kesinisan.

"Iya, apa jangan-jangan cewek itu cuma mau nguras hartanya doang, ya? Secara Mas Fadil kan kerjanya mapan." Temannya menyahut, ikut melirik ke arah Tifanny dengan bibir yang begitu lancip, menunjukkan kenyinyiran.

"Mana belum punya anak lagi!"

"Ya gimana mau punya anak, orang bentukannya kayak gitu!"

Kapasitas penyimpanan bahan gosip mereka begitu banyak. Tak habisnya mencongkel kekurangan Tifanny.

Tifanny jelas merasa tersinggung. Rasanya dia ingin menyemprot mereka dengan teriakan. Namun, keinginan liar itu tak dia realisasikan. Mengingat ini bulan Ramadhan yang harus dihiasi kesabaran, akhirnya Tifanny hanya bisa beristighfar dan mengusap dada pelan.

Karena para tetangga ajaibnya masih setia di sekitar halamannya, akhirnya Tifanny pun memilih menyapa mereka dengan suara santai, tak mau menunjuk emosinya. "Sore, Bu. Ada apa di sana? Mau mampir?"

"Dih, jijik! Ogah ya kita berkunjung ke dekat orang yang cuman bisa jadi beban anak orang. Kamu kan cuman benalu Mas Fadil, sampai nempel ke Kalimantan ini! Enak-enak habisin uang suami! Padahal ngasih kebahagiaan anak aja nggak bisa!"

Tifanny melipat menggigit bibir kuat. Berusaha menahan letupan isak dan deraian air matanya.

Tak mau merusak pahala puasanya, Tifanny langsung berbalik, melangkah masuk dan segera mengunci pintu rumahnya dengan rapat.

Sampai di kamar, dia menyeludupkan wajah ke bantal. Padahal, ini bulan Ramadhan, tetapi para tetangganya begitu kelebihan energi, sampai kuat menggunjing orang lain. Padahal Tifanny tak merasa dekat dengan mereka, tak seharusnya mereka ikut campur dengan biduk rumah tangga yang Tifanny dan Fadil jalani.

Namun, sedikit banyak ucapan mereka mengusik hati Tifanny. Dia jadi bertanya-tanya, apa mungkin dirinya selama ini hanya menyusahkan Fadil? Apa mungkin Fadil malu dengan segala keterbatasannya ini? Apa mungkin selama ini Tifanny tak membuat Fadil bahagia karena belum memberinya anak?

"Ndaaak!" Teriakan Tifanny terendam bantal.

Pikirannya sudah jauh melalang buana entah ke mana. Tifanny agak kehilangan kontrol pikirannya sendiri. Tiba-tiba ia seperti dihantui oleh bayang-bayang negatif yang ingin menjerumuskan dirinya ke lubang kegelapan.

Tifanny meremas ujung-ujung bantal, berusaha menepis bayangan buruk, walau tak semuanya, karena perasaannya masih kacau.

Puk!

"Astaghfirullah!" Sebuah tepukan di pundak, membuat Tifanny terperanjat. Dia mengangkat kepala dan melihat Fadil duduk di kasur dengan wajah condong ke arah Tifanny.

"Mas Fadil bikin kaget!" Tifanny memperbaiki posisinya. "Kapan pulang? Kok tiba-tiba di kamar?"

"Ada sepuluh menit lalu kayaknya. Aku nyari-nyari kamu ke dapur, tapi yang ketemu cuman masakannya. Terus aku lihat kamu ada di sini, tadinya mau nyapa, eh kamunya asik unyel-unyel bantal." Fadil ikut membenahi duduknya, lebih tegak. "Ngapain, Sayang?"

"Nyium baunya, udah waktunya ganti sarung atau belum." Tifanny mengambil tangan Fadil dan menciumnya.

"Apa ada masalah atau hal yang mengusik hati kamu?" tanya Fadil sembari memberikan usapan lembut di kepala Tifanny.

Tifanny terdiam sejenak, lantas menggeleng. Dia memang sedang resah, tetapi menurutnya ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya pada Fadil, Tifanny takut sang suami khawatir atau malah marah. Padahal Fadil baru saja pulang dari tempat bekerjanya, Tifanny merasa tak pantas menambah beban lelaki itu.

"Tifanny, are you okay?"

Tifanny mengangguk mantap. "Okey, Mas. Semua aman. Hehe."  Segera dia berusaha mengalihkan. "Oh ya, Mas, Tifanny tadi udah masak—"

"Ada apa, Tifanny?" Fadil memotong dengan suara yang lebih direndahkan, penuh penekanan.

"A-ada a-apa gimana, Mas?" Tifanny gugup. Sebisa mungkin ia menutupi masalahnya. Akan tetapi, sepertinya usahanya sia-sia karena Fadil dapat menebak perasaannya. Salahnya yang mengucap kata 'hehe'.

"Tifanny, Mas tahu kamu nggak bisa bohong."

Tifanny memalingkan wajah, tak mau menanggapi, lebih memilih melanjutkan ucapannya yang terpotong tadi. "Oh, ya, Tifanny tadi udah masak makanan kesukaan Mas lho. Tapi ... ndak tahu enak apa ndak, kan lagi puasa jadi ndak bisa dicicip. Kalau kemasinan atau kurang enak, nanti kita pakai lauk lain aja, ya?"

Fadil menghela napas, kemudian tersenyum kecil. Dia memamg tak bisa memaksa. Akhirnya mengikuti saja alur yang sang istri buat.

Mengejar Lentera 2Onde histórias criam vida. Descubra agora