LIMA2 - RULY

28 4 0
                                    

Semalaman saya tidak mampu memejamkan mata. Di kantor pun tidak konsentrasi kerja. Rasa bersalah ini kepada Ora mulai mengalahkan kesedihan yang saya rasakan karena pernikahan Elvira. Bayangan wanita itu terus saja muncul di kepala ini. Dan sialnya lagi, saya membayangkannya tanpa sehelai benang pun!

Apa yang tengah dilakukan wanita itu sekarang? Saya benar-benar keterlaluan, tidak mampu mengontrol sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua orang yang tidak memiliki hubungan yang sah secara agama dan negara. Sampai saat ini saya masih bisa merasakan saat-saat kami menyatu. Sesuatu di balik celana tiba-tiba mengeras hanya karena memikirkannya saja.

Sial!

Ah, andai saja saya tidak meminum minuman laknat itu, saya tidak akan mencicipi perbuatan terlarang itu. Bagaimana menjelaskannya ke Ayah dan Ibu kalau mereka sampai tahu. Mereka pasti akan sangat terluka.

"Rul, ayo ke kantin." Irfan tiba-tiba muncul di samping kubikel saya. Semua yang saya pikirkan mengabur seketika, berganti dengan sosok Irfan yang selalu tampil rapi dan senyum lebar di wajahnya.

"Maaf, Fan. Saya ada janji, mau ke Tupai," tolak saya dengan halus.

"Mau bikin apa di sana?" Irfan keheranan melihat saya merapikan meja dari kertas-kertas berisi instruksi pengiriman barang yang belum sempat saya selesaikan. "Tapi balik, kan?" tanyanya lagi.

"Mau ketemu teman di studio musik Hope. Saya balik, tolong titip pesan buat Pak Markus, siapa tahu saya kena macet."

"Stu–dio mu–sik? Sejak kapan ko (kamu) suka ...."

Saya berlalu dengan cepat, mengabaikan pertanyaan Irfan. Ada baiknya, saya menemui Ora, setidaknya memastikan wanita itu baik-baik saja. Tidak peduli tampang menyelidik Irfan, saya hanya ingin bertemu Ora secepatnya. 

Sebelum mengunjungi Ora, ada baiknya membawa oleh-oleh. Sekarang jam makan siang. Menu sop konro yang langsung terbayang membuat saya melajukan mobil ke kedai langganan. Saya tidak tahu berapa jumlah teman band-nya. Namun saya pikir tujuh porsi cukup untuk dimakan beramai-ramai.

Setiba di studio, saya memarkirkan kendaraan tidak jauh dari Hope Music Studio. Bukan karena saya tidak ingin terlihat mengunjungi tempat ini, tetapi tak ada lagi space kosong. Saya baru memperhatikannya dengan baik. Sekilas dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tinggal biasa. Tidak semegah studio musik milik Ahmad Dhani pentolan Dewa yang berlantai empat. Namun, melihat kendaraan yang parkir cukup banyak, saya rasa Hope punya pasarnya sendiri di Makassar.

Pintu samping sekaligus pintu masuk studio dijejali dengan orang-orang yang sedang antre menunggu giliran untuk berlatih. Saya pun masuk melalui pintu utama yang daun gandanya terbuka. Ada banyak suara yang terdengar tetapi tidak saya mengerti. Sepertinya mereka sedang membahas rencana latihan dan konsep penampilannya.

"Hahaha...."

Ah, dia ada. Ora. Suara tawanya yang renyah masih membayang di kepala. Bungkusan plastik berisi tujuh kotak sop konro yang saya beli tergenggam erat. Ada rasa tersendiri saat mendengar derai tawanya. Perasaan ini menghangat.

"Hai, siang."

Kelima orang yang tengah asyik berbincang serentak menoleh. Ora mungkin tak menyangka, saya ada di sini. Kedua tangannya terangkat menutup mulut.

"Ruly?" Ora bangkit dari duduknya, tergesa ke arah saya. "Ada apa?" bisiknya pelan seakan tak ingin didengar oleh keempat temannya.

"Saya ... hanya ...." Mendapat tatapan dari empat pasang mata di sana membuat semua kata yang ingin terucap hilang. Salah tingkah. Ora menyadari kekikukan ini. Dia langsung menggandeng lengan saya. Mendekat ke temannya.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Feb 28 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

SAVIORAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt