Thalia turun dari kudanya, ia menimbang-nimbang ingin rasanya bermain air akan tetapi ia teringat kejadian di danau ajaib yang membuatnya canggung ketika berhadapan lagi dengan Ace. Thalia menghela nafas panjang-ia berusaha menenangkan dirinya.

Ace sudah mengambil beberapa kayu kering dan ia susun menggunung. Ace berencana membuat api unggun, setelah itu ia pergi ke sungai untuk menangkap beberapa ikan. Thalia melihatnya berusaha ikut membantu, tapi Ace melarang dan memintanya untuk mencari ranting kayu yang akan di gunakan sebagai tusuk ikan. Thalia pun mematuhi, ia juga mengeluarkan ramuan dari dalam tasnya. Thalia tak akan meninggalkan sambal tomatnya-Thalia terkekeh saat ia teringat awal-awal datang ke denally ia nekat membuat terasi hanya demi memenuhi hasrat ingin makan lalapan bersambalkan terasi, meski masih enak terasi di dunianya sendiri.

Beruntung ia membeli beberapa cabai, tomat, garam, dan gula. Ia tidak berniat membuat sambal matang, itu membutuhkan waktu. Akhirnya ia mencari peralatan untuk menumbuk bumbu, setelah ketemu dengan bentuk yang ia ingin kan Thalia segera membersihkannya. Tak lama sambal buatan Thalia pun jadi-simpel kan sambal mentah ala-ala kejawenan yang berhasil ia bawa ke dunia fiksi sebagai obat rasa rindunya pada rumah aslinya. Tak lupa juga kerupuk puli yang menjadi fovorit Ace.

Aroma harum dari ikan bakar pun tercium, Ace dengan mata berbinar memakan lahap ikan bakarnya bersama sambal buatan Thalia, meskipun menurut Thalia sedikit tidak cocok setidaknya bisa memberi rasa pada ikan yang mereka bakar. Selesai memanjakan perut, mereka berdua bersandar pada pohon besar, Thalia tak segan menyandarkan kepalanya di bahu Ace.

"Setelah mengetahui serbuk apa itu. Aku akan menangkap siapa dalang di balik kejahatan yang tidak manusiawi ini. Pasti orang itu memiliki tujuan hingga ia berani menumbalkan berpuluh-puluh kepala yang tak bersalah," Ujar Thalia dengan sorot mata tajam menatap api unggun yang sudah mulai padam "Aku benar-benar akan mengirimnya ke neraka. Meskipun aku ikut terseret pun tak masalah. Yang terpenting calon jiwa baru bisa berkembang hingga mereka bisa bernafas di dunia bisa selamat,"

Ace sedikit menegang, ia merasa tak nyaman dengan pembicaraan Thalia. Bukan karena siapa dalangnya atau bayi selamat, Ace lebih takut jika hal itu membuat ia kehilangan wanita yang kini bersamdar di sampingnya.

"Jangan gegabah bertindak sendiri. Kita bersama menyelidiki semuanya!" Ace mengingatkan.

Thalia mengangguk "Iya aku paham,"

"Bahkan sampai saat kau berhadapan dengannya. Maka aku tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendiri," Ace mengalihkan tatapannya melihat ke arah Thalia, sontak gadis itu mendongak membalas tatapannya "Ingat Tha! Jangan bertindak sendiri. Karena musuh kita menguasai sihir hitam!"

"Pasti sulit aku mengalahkannya karena aku bukan wanita yang bisa menggunakan sihir," Sahut Thalia.

Ace tersenyum "Kau melupakan seseorang yang duduk di sampingmu," Thalia tersenyum, rona merah kembali muncul di sela-sela wajahnya.

Ace menarik lengan Thalia hingga gadis itu terhuyung jatuh terduduk di pangkuan Ace. Jemari Ace mengelus lembut pipi Thalia yang sudah memerah, perlahan jemari tangannya turun dan meraih tengkuk Thalia dan menariknya mendekati wajah Ace. Sontak mata Thalia terpejam, ia mempersiapkan hatinya akan kejadian yang akan terjadi. Debaran jantunganya kembali memberontak membuatnya sedikit sesak.

"Tenanglah dan pura-pura tidak tahu. Karena ada yang sedang membuntuti kita!" Bisik Ace kemudian.

Kedua mata Thalia terbuka sempurna, ia mematung dan melupakan posisinya saat ini. Orang lain yang melihatnya pasti akan salah paham.

"Aku akan membereskannya! Jadi tenanglah dulu serta tunggu aku kembali!" Ujarnya kemudian beranjak dan meninggalkan Thalia yang masih mematung.

Entah ada gejolak apa yang di rasakan Thalia. Gadis itu memasang ekspresi datar, mata tajam, dan insting bertarungnya meningkat. Tanpa Ace ketahui Thalia mengikutinya. Ace mengetahui dimana penguntit itu bersembunyi, ia pun menyerangnya tanpa memberi ampun. Thalia muncul di balik pohon mengamati, penguntit yang menyerang Ace itu tidak sendirian. Ada 3 yang sedang bersembunyi. Tangan Thalia meraba tas kecil yang ada di pinggangnya, ia mengambil 3 buah pisau lempar yang memang sudah ia persiapkan.

3 penguntit yang masih fokus mencari timing untuk menyerang Ace tidak menyadari keberadaan Thalia. Karena mereka menganggap semua wanita itu lemah, mereka fokus menghabisi sang Pangeran Kedua, kemudian lanjut menghabisi wanita yang bersamanya.

Thalia memperhatikan langkah kakinya, ia dapat melihat siluet 2 orang yang bersembunyi tidak begitu jauh. Ia bersiap melemparkan kedua pisau lemparnya.

Syut...

Syut..

Jleb... Jleb...

"Aarghh!" Teriak kedua penguntit yang jatuh dari pohon tempat mereka bersembunyi. Keduanya tewas karena Thalia melempar tepat ke organ vitalnya yaitu kepala.

'Jangan menganggap remeh wanita ya!' Seru Thalia dalam hati.

Satu penguntit menyadari kedua temannya telah tewas. Ia akhirnya turun dan menyerang Thalia secara langsung dengan senjata yang ia bawa yaitu pedang, sontak gadis itu menundukkan kepalanya hingga ia berguling untuk menjauhi dan menghindari serangan. Tangan Thalia meraih belati yang tersimpan di sepatu bootsnya. Ia tak mungkin membawa pedang kemana-mana kan, pedang Thalia bertengger manis di punggung kuda beserta tas ranselnya.

Tring

Tring

Suara peraduan pedang dengan belati milik Thalia, gadis itu berusaha dengan posisi bertahannya. Ia akan melumpuhkan titik vital lawannya tanpa menggunakan belatinya. Setelah bergelut cukup lama, Thalia pun berhasil melumpuhkan lawannya dengan tendangan kaki yang tepat mengenai pelipisnya, penguntit tersebut terhuyung ke belakang. Tangannya memegang pelipisnya yang berkedut nyeri yang luar biasa, ia juga menyadari ada darah yang mengalir di sana. Tak lama pria tersebut tergeletak tak sadarkan diri.

Ace juga membuat lawannya bertekuk lutut, ia menggunakan sihirnya agar pertarungan lebih cepat selesai. Dengan sekali ucapan mantra dari bibir Ace, pria yang terlutut di hadapannya pun tewas dengan tubuh terburai. Ace tidak hanya membunuhnya tapi juga melenyapkannya. Thalia merasa mual dan pening, ia sama sekali tidak siap melihat kepingan tubuh yang terburai di depan matanya.

Netra merah yang berkilat penuh amarah seketika bergetar saat melihat Thalia seperti tidak kuat berdiri. Thalia bersandar ke pohon di sampingnya, ia memutarkan badannya dan berusaha mengambil nafas panjang.

"Aku melihatnya langsung Ya Tuhan. Tubuh orang terpecah, terburai, dan terbang berserakan, darahnya juga menari-nari berterbangan kesana kemari membuat tempat tersebut berbau sangat anyir.

Ace mendekati Thalia dengan sorot mata khawatir "Ada yang terluka?"

Mendadak rasa jengkelnya kepada Ace menghilang "Tidak ada yang terluka Ace. Aku baik-baik saja,"

Ace kembali menatap sekitar ia mendapati 2 orang yang sudah terkapar dengan pisau menancap di kepala mereka. Ace tahu siapa yang melakukannya-hanya Thalia, wanita yang ia kenal tak memandang ampun para pria jahat yang berusaha mengusik dirinya.

"Mereka bertiga ternyata. Dan semuanya tewas," Ujar Ace.

Thalia menggeleng "Tidak, ada 4 orang. Satunya di sana," Tunjuk Thalia membuat kedua alis mereka saling bertaut.

Thalia berlari ke arah pria yang tadi tak sadarkan diri karenanya "Kemana dia?"

"Aku rasa dia kabur,"

"Ck, aku kira tadi dia pingsan. Tak tahunya hanya pura-pura," Ujar Thalia kesal. Ia jadi kehilangan sumber informasinya meskipun hal tersebut tak mungkin terjadi karena kebanyakan para penguntit atau pembunuh bayaran akan rela mati daripada membongkar rahasia Tuannya. Ace hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat Thalia memanyunkan bibirnya kesal.

Sedangkan di lain tempat dan waktu, Pangeran Ricard tak tanggung-tanggung menebas pria yang menjadi bawahan ksatria yang ia utus untuk membuntuti Nathalia dan Ace setelah ia mendengarkan penjelasan dari awal hingga pria tersebut berakhir tak sadarkan diri akibat tendangan yang di berikan Thalia. Rencana Pangeran Riccard gagal karena Ace mengetahui bahwa ada orang yang mengawasinya.

"Dia memang tidak bisa di anggap remeh," Ujar Ricard yang menahan emosi yang menguasai dirinya.

I WANT YOU (END)Where stories live. Discover now