32. Ikhlas

98 11 4
                                    


            Alma menatap bekas luka gores di pergelangan tangannya. Setiap kali melihat bekas luka itu, ia selalu terbayang masa gelap dan mengumpat betapa bodoh dirinya dikala itu. Andai menjadi anak yang Saleha dan menuruti kata orang tuanya, maka tidak ada pergaulan bebas di hidupnya. Tidak akan merasakan hancur ditinggalkan seperti sampah oleh mantan pacarnya setelah dihamili dan ditinggal sahabat-sahabatnya saat lagi terpuruk. Ia tidak akan pernah merasakan pikiran yang berkecamuk dan hampa. Melakukan psikoterapi setiap hari bagai kehilangan akal dan jati diri. Luka batin maupun fisik yang diterima sangat menyiksanya.

"Tapi Alhamdulillah, aku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi. Berkat dia yang menuntunku ke jalan lebih dekat kepada Allah. Sekarang tidak ada lagi kegelisahan dan kesedihan di hidupku, hatiku tenang dan damai. Dulu aku sangat membenci dia tanpa alasan, perjodohan ini hanyalah takdir yang bisa berubah. Namun, saat ini aku sadar mengapa Allah menyatukan kami sebagai dua insan yang berujung saling mencintai, karena semua takdir yang telah ditulis pada lauhul mahfudz tidak pernah berubah. Allah sangat baik."

Batin Alma, memandangi suaminya dari balik jendela. Sudah cukup lama berdiri di sini, memperhatikan Faris yang sedang berbincang bersama ayahnya di ayunan santai halaman rumah ini. Entah, apa yang mereka bicarakan. Terlihat obrolan mereka tidak cukup serius, penuh candaan. Saat suaminya yang asik mendengar cerita ayah Haris dan sesekali tertawa, Alma pun ikut tertawa meski tak tahu cerita apa yang mereka bahas. Merasa ada sentuhan di pundaknya, Alma menoleh.

"Alma, gak capek berdiri terus? Ayo makan, nak. Nanti minum obat."

Ibunda Firza, sosok ibu martua yang selalu memberikan perhatian pada Alma. Tak pernah membedakan kasih sayang antara anak dan menantu. Semua layak mendapatkan cinta yang tulus darinya. Sering kali khawatir dengan keadaan Alma. Saat Alma dirawat beberapa hari di rumah sakit, ibunda Firza juga ikut menemani Alma, hingga kepulanggan Alma sekarangpun ibunda Firza tetap setia berada disisi Alma.

"Tidak apa-apa ibunda, lagian berjalan-jalan setelah operasi caesar itu bisa meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh," balas Alma tersenyum tipis.

"Jalan-jalan 'kan buak berdiri? Ibu perhatiin udah setengah jam kamu di sini, memangnya lihatin apa di sini?" tanya ibunda Firza.

"Gak, gak lihat apa-apa, Alma mau minum obat dulu bu," jawab Alma bergegas melangkahkan kakinya menuju ke belakang ruang makan.

"Makan dulu, nasinya udah disiapin di meja tadi mama kamu yang dinginkan nasinya."

Alma tak menyahut, punggung rampingnya terlihat semakin jauh. Ibunda Firza sangat prihatin dengan tubuh kurus menantunya itu. Bagaimana tak semakin kurus, selama di rumah sakit Alma makan hanya beberapa sendok.

"Wajar, ternyata lagi liatin pujaan hatinya toh," ucap ibunda Firza tersenyum-senyum. Matanya tanpa sengaja tertuju pada Fariz dan suaminya di luar sana, kemudian menyusul Alma ke belakang bersama umi Elena yang baru selesai melaksanakan shalat Dzuhur.

Di sisi halaman rumah, Faris dan ayahnya masih berbincang hangat. Ada rasa legah di hati Haris berhasil membuat putra samata wayangnya itu tertawa selepas dari kejadian yang menimpanya. Sebenarnya ayah Haris tak pandai menciptakan lelucon, tapi beliau tahu selera humor Faris. Ingatkan saja Faris dengan masa kecilnya yang begitu lucu. Mulai dari tidak sengaja menelan permen yang berujung tangis, jatuh hingga wajah terkena kue brownies alias kotoran sapi pada saat mengembala sapi, pernah mendapatkan hadiah mukenah yang sangat indah berhasil meraih juara 1 lomba adzan ketika menduduki bangku madrasah ibtidaiyah, dan diam-diam sering membantu ibu-ibu memasak di dapur pesantren pada masa Madrasah Tsanawiyah. Ia tidak pernah malu, kemuliaan hatinya diusia yang masih kecil membuat ibu-ibu di dapur pesantren menyukainya. Bahkan mereka mau melebihkan jatah makanan setiap hari untuk Faris. Namun, Faris menolak. Sedikitpun ia tidak mau makanannya dilebihkan karena ia merasa perlakuan ibu-ibu itu sangat tidak adil pada santri lainnya. Faris ikhlas membantu tanpa pamrih, Jadi inilah jawabannya mengapa Faris sangat pandai dalam memasak. Cerita masa kecil Faris kini hanya bisa diingat dan menjadi bahan canda ayahnya sampai saat ini.

"Kadang mengapa disaat ujian datang, kita berharap ingin kembali ke masa kecil yang tidak tahu apa-apa? Bukankah sejak dewasa kita memang dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan selalu mengingat Allah dan melaksanakan kewajibanNya?"

***

Sudah satu hari belum ada kabar atas kelanjutan dari kasus wanita hamil yang sengaja ditabrak seorang tak dikenal, para penyidik belum menerima pesan atau informasi kapan korban bisa dimintai keterangan. Kabarnya keadaan korban sudah mulai membaik, untuk bisa menemuinya perlu izin lebih dahulu apalagi wanita itu istri dari seorang Ustadz yang tidak sembarangan bertemu siapapun.

"Tadi siang saya mau bertemu dengan Ustadz Faris, tapi rumah Ustadz Faris sedang ramai. Sepertinya ada keluarganya, saya gak berani untuk masuk dan akhirnya kembali ke apartemen. Memang akhir-akhir ini sulit sekali menghubungi Faris, kayaknya memang lagi gak pegang handphone, pak polisi."

Salah satu polisi itu menghela napas, lelah. Sudah 4 hari berlalu, tapi kasus ini masih simpang siur dan para penyidik belum bisa menemukan fakta yang sebenarnya dibalik kejadian ini.

"Nomor hp keluarganya ada?"

Supri menggeleng. "Gak ada," jawabnya.

"Yasudah, besok kita coba ke sana."

"Baiklah, pak. Saya izin pulang," pamit Supri.

***

Alma duduk menghadap meja rias, mengurai rambut panjangnya kemudian menyisir rambutnya perlahan-lahan. Ia tersenyum tipis menatap seorang lelaki dipantulan cermin yang berdiri di belakangnya.

"Mau saya bantu?"

Alma mengangguk, mengizinkan sang suami menyisir rambut panjangnya.

"Indahnya," ucap Fariz, memuji rambut sang istri yang sangat halus dan lembut sampai ke ujung.

"Gomawo, hubby," balas Alma.

"Gomawo? Apa itu?" tanya Fariz, kata itu terdengar asing baginya.

"Dalam bahasa Korea gomawo itu artinya terima kasih," jawab Alma.

"Oh, jadi bahasa Korea, baiklah kalau begitu nanti ajarin saya bahasa Korea, boleh?"

"Boleh," balas Alma antusias.

"Tapi kenapa hubby tiba-tiba ingin belajar bahasa Korea?" lanjut Alma. Berdiri menghadap sang suami.

Fariz terdiam sesaat, meletakkan sisir di atas meja rias. Tersenyum tipis memandangi wajah cantik istrinya. "Tidak ada alasan untuk itu, hanya saja saya ingin kita lebih dekat," ucapnya.

"Dan saling melengkapi," balas Alma.

Faris mengangguk, mengecup kening Alma dan memeluknya. Begitu pula dengan Alma, membalas pelukan sang suami dengan sangat erat.

"Ayo tidur." Fariz mengangkat badan mungil istrinya, menggendong Alma ke tempat tidur beristirahat.

Sekarang posisi mereka berdua sudah tiduran dengan berhadapan. Fariz membiarkan tangannya menjadi bantal untuk sang istri. Manik mata keduanya saling pandang, hati tertaut kasih dan cinta yang dirasakan.

"Hubby."

"Ya?"

"Tolong hentikan kasus ini, siapapun pelakunya aku sudah ikhlas. Biarkan Allah yang membalasnya."


End ~

Eh, gakdeng,, ahahha

Guys, apa kalian udah nyerah nungguin update cerita ini? Jangan dong, udah mulai seru dan memasukki babak cerita efik nih. Ingat ya!

Dari part 1 sampai skrng ini baru permulaan cerita loh ahahaha.

Tetap stay aja, selamat menuggu update part berikutnyaaa sampai lelah wkwkwk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang