"Dengan kondisi seperti ini, gue yakin lo bakal dengan mudah menyelesaikan semuanya. Apalagi sudah dua tahun tanpa nafkah lahir batin. Hakim mana yang bakal berani menghalangi perpisahan kalian? Ya nggak, Je?" Ardian tertawa lebar.

Nggak Cakra nggak Ardian, keduanya sama-sama memanggilnya dengan sebutan "Je" bukan "Rin" tanpa Jerini tahu apa alasannya. Atau memang hal sederhana seperti ini memang tak butuh alasan?

Lalu Ardian menjelaskan langkah-langkah yang akan dia lakukan serta menjelaskan risiko serta kemungkinan yang akan terjadi. Meskipun tidak menakut-nakuti, secara fair Ardian memberi insight beberapa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Gue nggak tahu kondisi perekonomian Gandhi sekarang," kata Jerini jujur. "Mungkin jauh lebih baik setelah menjadi kepala cabang."

Sebenarnya sedih juga mengakui hal ini. Karena dulu saat mereka masih rukun bersama, Jerini yang harus berkorban lebih banyak untuk urusan finansial demi men-support keluarga mereka. Makanya dia tak bisa menahan sengatan cemburu kalau Gandhi sampai rela banting tulang demi mendapat uang lebih banyak saat bersama Putri. Hal yang tidak dia lakukan saat masih bersamanya. Apa gue segitu nggak berharganya sampai nggak layak diperjuangkan oleh suami sendiri?

"Kalau memang itu yang terjadi, Gandhi bisa sewa pengacara juga, Je. Dan kalau dugaan lo benar, bahwa Gandhi masih mengincar aset yang atas nama lo, dia bisa mati-matian berusaha dapetin itu."

"Tapi gue kenal karakter Gandhi, Mas," sanggah Jerini. "Dua tahun dia nggak berusaha reach gue. Padahal meskipun nomor ponsel dia gue blokir, dia bisa dengan mudah hubungi gue ke kantor Surabaya. Toh masih dalam satu perusahaan. Makanya ketika tahu dia pasif, gue anggep dia nggak tertarik lagi—"

"Bukan begitu, Jerini," Ardian memotong ucapan perempuan yang duduk berseberangan dengannya di restoran tempat mereka janjian itu. "Bisa jadi suami lo emang bodo amat sama pernikahan kalian. Dan mungkin bukan karena dia nggak mau reach out lo. Tapi, to be honest ya, Je, jangan tersinggung. Itu karena dia yakin kalau lo bakal balik sama dia."

"Ha?" Jerini terkejut oleh kemungkinan itu.

"Dengan gantungin status pernikahan kalian selama dua tahun, itu sama aja dengan lo bilang kalau lo nggak mau cerai, Je."

Ish! Sialan! Jerini memijit dahinya dengan kesal karena ketololannya sendiri.

"Makanya, kalau tekat lo udah solid begini, dan lo juga udah secara resmi minta gue buat wakilin elo untuk urusin legalitas perceraian, itu bisa jadi jalan gue buat hubungi Gandhi setelah ini. Dan secepatnya gue bakal menyampaikan gugatan secara resmi ini sama calon mantan suami lo."

"Gue beneran nggak mau hadir dalam persidangan lho, Mas. Jangan lupa," kata Jerini.

"Bisa diatur," Ardian tertawa meyakinkan. "Aman itu, Je. Lo baik-baik kerja aja sama Cakra. Kumpulin duit yang banyak—"

"Buat bayar lo, ya?" ejek Jerini. Vibes Ardian ini memang cepet banget bikin akrab.

"Bukan. Buat ditabung lah!" canda pria itu sambil terbahak.

Nih orang emang gokil banget sih. Jerini jadi bisa tertawa rileks. Dan untuk pertama kalinya dia merasa benar-benar lega karena setelah dua tahun, semuanya akan berakhir tak lama lagi.

"Tapi misal Gandhi telepon gue, masih boleh gue terima kan, Mas?"

"Selama lo paham pada batasan di antara kalian sekarang. Bahwa posisi Gandhi ntar adalah rival. Jadi jangan sampai lo kacaukan strategi kita ini."

"Siap, Mas. Paham kok, gue," Jerini tersenyum yakin.

Seperti ada kepuasan tersendiri saat Jerini memanggil "Mas" pada Ardian. Karena hal itu membuatnya merasa muda sesuai usia. Iya, kan? Kalau Ardian teman Cakra, berarti pria itu juga lebih tua dari Jerini, kan?

Cinta yang SederhanaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora