🍸 1. An Unexpected Surprise

Začít od začátku
                                    

Kegaduhan tersebut berakhir dengan Ted yang menawarkan opsi potongan biaya rental bila klien tersebut menyewa hall di hotel itu lagi. Ted lantas menemani sang klien hingga tamu itu mendapatkan taksi.

"Klien paling suka kalau ucapan dan keluh kesahnya didengarkan, apalagi kalau kamu sampai bisa mengulang setiap detail komplainnya dan kamu nggak melepas kontak mata dengan mereka. Mereka jadi merasa benar-benar diperhatikan. Ditambah lagi kalau kamu punya jabatan tinggi dan bersedia turun tangan langsung, going the extra mile to help them, lama-lama mereka pasti merasa sungkan," katanya saat aku membahas insiden itu.

Kami sama-sama bekerja di industri pelayanan, jadi kami pun mudah mengerti kesulitan pekerjaan masing-masing. Tak jarang aku belajar dari Ted. Dia lihai dalam mengatasi masalah. Tidak mengherankan bila akhirnya dia bisa menjabat sebagai manajer pemasaran di New Haven Hotel―salah satu jaringan hotel global besar―ketika usianya baru menginjak 28 tahun.

Jadi, percaya diri memang menjadi karakteristik menonjol dari seorang Ted Purnomo. Namun, tiba-tiba di hadapanku malam ini, laki-laki itu bersikap gelisah dan malu-malu.

Oh, mungkinkah firasatku benar? Mungkinkah apa yang kulihat di mal waktu itu benar?

Aku selalu tahu saat ini akan tiba. Selama satu tahun menjalin hubungan, kami selalu mengatakan kalau kami memang tepat untuk satu sama lain. Aku adalah kekasih pengertian yang tidak pernah bersungut bila dia harus kerja lembur. Sedangkan dia adalah man in suit idamanku. We're perfect for each other.

Terlepas dari jantungku yang terasa seperti sedang bermain trampolin, aku berusaha tetap memasang tampang netral. Pura-pura tidak tahu pada rencana kejutan yang telah disusunnya.

Aku menepuk-nepuk punggung tangannya, mencoba menenangkannya. "Kamu nggak mau pesan makan dulu?"

Ted menggeleng. "Aku lagi nggak nafsu makan. Ada yang harus aku sampaikan ke kamu sekarang juga."

Inikah saatnya Ted melamarku?

Jantungku berderap kian kencang. Aku mulai membayangkan cincin berlian bermodel solitaire dari koleksi Ballerine yang akan tampak manis di jari manisku. Untung aku sudah menyempatkan diri untuk melakukan manikur sebelum datang ke sini.

Aku berdeham, mencoba membuat suaraku senetral mungkin. "Mau ngomong apa, Ted?"

Lelaki itu memejamkan mata sejenak, lalu menatapku dalam. Dia kian mengeratkan genggaman. Aku pun semakin sulit menahan senyum girang.

"Isla, kita sudah pacaran selama setahun," mulainya. "Sebenarnya aku paling nggak suka membahas umur. Tapi, kamu sudah hampir kepala tiga―"

"Kamu juga, Ted," potongku. "Aku bukan satu-satunya yang tua di sini."

"Iya, maksudku juga begitu," balasnya cepat, tak terpengaruh oleh gurauanku. "Anyway, aku merasa nggak adil kalau harus membuatmu menunggu lebih lama lagi."

Ted kembali mengambil jeda, menggiring jantungku berdegup melewati batas kecepatan. "Sebelumnya, aku pengin kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, Isla. I never took you for granted. Aku selalu senang menghabiskan waktu sama kamu. Kamu perempuan yang luar biasa. Nggak mudah menjalani hubungan dengan pria yang memiliki profesi sepertiku. Tapi, kamu selalu pengertian dengan jadwal kerjaku yang seringkali nggak kenal waktu. Kamu nggak pernah jadi perempuan penuntut dan aku adalah pria beruntung yang pernah merasakan gimana menyenangkannya pacaran sama kamu―"

"Pernah?" Aku kembali menyela. "Kita, kan, masih pacaran. Kamu ngomong 'pernah merasakan' kayak kita sudah nggak pacaran saja."

Ted mendesah berat sebelum bergumam, "Mungkin memang seharusnya begitu."

Beer and MartiniKde žijí příběhy. Začni objevovat