3. Genggam yang Melebur

36 6 0
                                    

Arga, kamu tahu hal apa yang paling berharga selain bunga seruni dan buku-buku yang aku tulis? Itu kamu. Hahaha, iya itu kamu lagi. Entah apa yang sedang ditulis Tuhan di atas, tapi di pertemuan kita yang dingin malam itu aku berdo'a, semoga lelaki pemilik payung kelabu itu bahagia. Jangan lupa bahagia, Arga.

Aku tersenyum sumir. Memandang bunga seruni yang sudah tiga tahun lebih aku rawat di pelataran gudang. Bunga seruni yang telah kehilangan seseorang yang membuatnya ada di sana.

Gadis lavender masih tetap menjadi candu yang meraung. Kapanpun dia mau, dia akan datang dalam pikiran ku dan tanpa ragu aku akan selami bentuk wajahnya lagi hingga rasa merona di hati ini perlahan berubah menjadi perih. Perih yang berarti.

Embun kian beranjak ketika matahari berderap merayap di tangga langit yang tak kentara. Aku tiba ke gudang, tempat kecil yang berisi puluhan kanvas dan cat untuk melukis. Hari ini aku harus menyelesaikan lukisan terakhir untuk pameran bulan depan. Masih tak menyangka aku ada di titik ini, bahkan melampaui titik ekspektasi yang dulu sering aku pikirkan. Tidak pernah menyangka aku akan berada di pameran besar dan beruntungnya beberapa kurator telah memesan lukisan ku bahkan jauh hari sebelum pemeran dimulai.

"Ma, sekarang Arga sudah buktiin, kan?" Aku bermonolog.

Kopi di meja dekat jendela telah dingin berpuluh-puluh menit yang lalu. Aku membiarkannya selagi memikirkan Amara dan bunga seruni yang lebih menangkap fokus ku di pagi kali ini.

"Pahit." Aku bahkan lupa menambahkan gula. Dengan menggeleng pelan lantas aku pikir kopi tersebut cukup mewakili hariku, yang selalu hambar. Biasanya Amara akan membuatkan teh aroma melati alih-alih kopi. Dia bilang aroma teh lebih candu. Aku mencebik kala dia begitu terobsesi dengan bunga melati kering untuk teh.

Ah, dan lagi. Aku teringat dia menulis ini,

Arga, jangan minum kopi kalo belum sarapan! Udah tahu perut kamu gak kuat sama kopi masih aja belagu. Nanti kalo sakit, aku bisa lebih sakit lagi. hm? Janji ya gak minum kopi kalo gak dicampur susu? gak minum kopi kalo belum sarapan? Ya Arga sayangnya Amara.

Lucu bukan, dia mengomel dalam tulisan. Ya Arga sayangnya Amara. Anehnya semua pesan singkat atau panjang yang ia tulis dalam note atau kertas selalu berakhir aku simpan dengan baik. Semuanya ada di laci meja. Aku sengaja ingin mengenang semuanya dengan baik.

Aku berdiri tegap melakukan peregangan sedikit sebelum berjalan menuju kanvas berukuran 2 meter yang masih berbentuk sketsa. Sketsa Amara. Kali ini aku mengambil tema gadis Seruni yang tak lain adalah Amara sendiri untuk lukisan terakhir yang akan di pamerkan bulan depan.

Aku melihat sekeliling. Tak ada yang berubah di gudang ini bahkan sejak 3 tahun lalu aku mengajak Amara kemari. Dulu ia sempat menganga, mungkin takjub. Arga, kau pelukis?! waw. Hebat. Boleh aku minta lukisan bunga seruni untukku. Nanti akan ku bayar. Alih-alih menyuruh ia membayar, aku memberinya dengan cuma-cuma. Aku bilang, "Hadiah untukmu, Amara. Terimakasih telah membiarkanku mencintaimu." Dia terkekeh.

Gudang ini adalah milik Ayah. Dia bilang aku bisa memakainya jika perlu dan dengan senang hati aku menyulapnya menjadi tempat melukis. Sudah 5 tahun aku menempati gudang ini, sejak SMA dulu. Mama akan uring-uringan ketika aku pulang sekolah langsung menuju gudang tanpa mampir dulu ke rumah untuk makan. Mama dulu begitu mengkhawatirkan ku.

Gudang ini ada di Kelurahan Braga, ada di sebuah gang kecil. Tempatnya tak terlalu lebar, hanya 25m² namun sudah lebih dari cukup bagi ku. Di dalam sini ada satu buah sofa berukuran besar, keadaannya sedikit hmm ya begitulah, namun masih bisa di pakai duduk. Sementara di tempat paling ujung ada lemari besar tempat menaruh kanvas dan alat melukis. Di sudut lainnya ada meja bundar berukuran sedang, tingginya sekitar satu meter, Amara menaruh vas berisi bunga seruni di sana. Hanya itu mungkin perabotan yang ada di sini. Ah ya, hampir semua dinding tertempel lukisan. Dan lagi, ubin putih yang penuh bercak cat.

Seruni di Januari |Qian Kun ✅Where stories live. Discover now