Lucky

268 13 2
                                    

Elena menghembuskan napas gusar berkali-kali. Pantatnya tak berhenti bergerak gelisah di kursi sementara Pie Susu diatas meja mulai mendingin tak tersentuh. Padahal, itu makanan favorit Elena. Jangan ditanya, kalau ada Pie Susu menganggur sedetik saja dimeja tanpa ada yang menyentuhnya, sudah pasti Elena lah yang menjadi tertuduh utama kalau-kalau Pie Susu itu menghilang secara tiba-tiba.

Namun dalam kasus ini berbeda.

"Dimakan, dong," Ucap cowok didepannya untuk kesekian kalinya. "Lagian, lo kenapa sih, kayak cacing kepanasan gitu," Lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

Mulut Elena terbuka hendak mengucapkan sesuatu. Namun kembali tertutup, mengurungkan diri untuk angkat bicara. Dan kembali, kata-kata Rigby-sahabat terbaiknya sepanjang masa-terngiang-ngiang di kepala Elena.

"Ini bukan masalah harga diri, Len! Ini masalah perasaan! Inget! P-E-R-A-S-A-A-N! Nunggu doi peka kan kayak penantian One Direction nyanyi lagu Sakitnya Tuh Disini! Makanya, Lo. Tembak. Sekarang. Atau. Enggak. Se-la-ma-nya!"

Elena menggigit bibirnya. Iya, bukan lagi saatnya untuk mempermasalahkan harga diri perempuan yang terlalu rendah untuk sekedar menyatakan perasaan. Ini udah zaman Emansipasi Wanita, Bung! Zamannya Masker udah kalah bersaing sama Camera 360 sebagai produk perawatan wajah!

"Ehm," Elena berdehem pelan menormalkan suaranya yang seakan daritadi tertahan ditenggorokan dan tidak bisa lepas dari ujung lidah. "Asta, gue mau ngomong serius,"

Asta-cowok didepannya yang mulai melepaskan pandangan dari layar ponselnya kelihatan mulai tertarik. "Silahkan,"

Elena menguatkan perasaannya. Kata-kata yang sudah ia susun rapi dari kemarin-kemarin itu rasanya kembali masuk tertelan ke tenggorokannya. "Ini tentang kita. Tentang gue sama elo," Lanjutnya memulai pembicaraan.

Asta menaikkan satu alisnya.

Ditariknya napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan, "Emang enggak ada yang spesial dari awal pertemuan kita, awal persahabatan kita, juga sampai sekarang, gue ngerasa semuanya sama kayak sahabat antar cewek dan cowok lainnya," Ujar Elene pelan takut-takut salah ngomong.

"Sampai kebetulan-kebetulan itu muncul. Bu Indah yang nyuruh kita duduk sebangku, Pak Romi yang selalu masukin kita di kelompok yang sama, sekelas lagi dikelas sebelas, sampai ternyata, kita sekelas juga dikelas dua belas," Lanjutnya.

Asta menegakkan tubuhnya, menatap tajam Elena sementara gadis itu wajahnya sudah mulai memerah. "Pertama gue kira ini emang takdir gue harus apa-apa sama lo, tapi sekarang yang gue sadari, gue lebih suka menyebut kebetulan-kebetulan kecil itu sebagai keberuntungan yang emang udah Tuhan atur untuk setiap kebersamaan kita.

Sekali lagi, persahabatan kita emang kayak sahabat antar cewek dan cowok lainnya. Yang dalam kebanyakan kasus, enggak ada yang murni menjalankannya atas dasar saling sayang antar sahabat. Perasaan manusia itu bisa berkembang, Ta. Rasa nyaman kalau lagi sama lo ternyata bikin sesuatu yang didasari persahabatan itu mulai tumbuh ke arah lain. Entah sejak kapan, tapi...

I've loved you Adhyasta Fairuz,"

Tatapan mata keduanya bertubrukan dan hanya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya Elena menundukkan wajahnya, menyembunyikan mukanya yang sudah merah padam, juga menetralkan degup jantungnya yang selalu berdetak lebih cepat setiap ditatap intens oleh Asta.

"Tolol,"

Elena mengangkat wajahnya, meyakinkan apa yang barusan ia dengar dari Asta. Apakah itu sebuah penolakan?

"Gue bilang daritadi, makan Pie Susunya Elena!" Perintah Asta yang bikin Elena terbingung-bingung dibuatnya.

"Makan, Elena," Perintah Asta kini dengan suara yang lebih pelan namun tak terbantahkan.

Lucky [END 2/2]Där berättelser lever. Upptäck nu