Yang Terakhir Tahu

17K 822 53
                                    

14 Desember 2014

Minggu terakhir sebelum minggu natal tiba merupakan periode teraneh dalam hidupku.

Sedang terjadi perubahan, entah perubahan menuju suatu kebaikan atau suatu bahaya. Yang jelas sikap Janet sekarang tidak bisa kuperkirakan lagi arahnya. Mengakibatkan aku selalu kebingungan harus bersikap seperti apa padanya.

Karena dirinya selalu mengalihkan perhatian, aku harus punya sebuah ruang kerja di rumah untuk tetap produktif akan urusan kantor. Janet sudah kuberi tahu tentang hal ini dan dia sangat menyetujuinya. Bukan hanya tidak pernah mencariku ketika aku di dalam, dia bahkan sering menyuruhku berlama-lama di sana!

Tapi hari Minggu kemarin, Janet masuk ke dalam ruang kerjaku saat aku berada di dalamnya. Tentu saja, konsentrasi yang kubangun perlahan di awal hari hancur dengan satu panggilan darinya.

"Dan..." Karena tidak ada bangku lain di ruangan ini, Janet hanya bisa berdiri tepat di belakangku.

"Mmmm..." Jawabku tanpa melepaskan pandangan dari layar laptop. Wangi tubuhnya melingkupi sekitarku dan membuatku merasa sedang dipeluk erat olehnya. Ya ampun, wanginya selalu lebih menggodaku dibanding dengan sentuhan fisiknya.

"Aku ingin pergi sebentar."

"Ke mana?"

"Minimarket depan."

"Perlu kutemani?"

"Tidak perlu."

Jawaban biasa seperti dugaanku. Janet selalu tidak ingin merepotkanku di hal yang bisa dia lakukan sendiri. Walau terkadang aku tetap memaksa ikut. Tapi karena kali ini hanya minimarket depanlah tujuannya, mungkin tidak masalah membiarkannya pergi sendiri. Lagipula aku yakin satpam-satpam kompleks perumahan ini bekerja dengan baik setelah beberapa kali traktiran makan siang dariku.

"Tidak perlu tapi... tapi aku ingin berjalan berdua denganmu kalau kau sempat."

Kalau kalimat yang ini, baru di luar dugaanku.

"Kau ingin kutemani?"

"Kalau kau sempat." Ulangnya sekali lagi sambil memindahkan sebagian rambutnya ke belakang telinganya. Untuk sesaat wajahnya memerah. Dia selalu seperti itu jika sedang menginginkan sesuatu dariku.

Kutatap layar laptopku yang menampilkan beberapa jendela Microsoft Word. Aku baru menyelesaikan seperempat bagian pekerjaanku, mungkin lebih sedikit dari seperempat. Lalu pandanganku beralih ke Janet yang masih setia berdiri di belakangku. Mata hitamnya terlihat sangat menginginkanku menemaninya walau tidak ditunjukkan terang-terangan.

Hanya butuh beberapa detik untukku membuat keputusan. Antara menolak permintaan Janet untuk pertama kalinya atau bergadang sepanjang malam ini.

Tentu saja bergadang terdengar lebih mudah.

~~~~~♥~~~~~

Barang yang dicari Janet tidak dijual di minimarket depan karena itulah sekarang kami berada di dalam apotek tidak jauh dari minimarket itu. Janet bertanya kepada pegawai toko tentang barang yang diinginkannya sementara aku hanya menyusuri rak-rak toko.

Saat mataku berfokus pada beragam sirup obat batuk di depanku, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Pegawai toko yang tadi membantu Janet sekarang berdiri tepat di belakangku. Kucari sosok Janet dan ternyata dia sudah mengantri di dekat kasir.

"Mas, suaminya mbak itu ya?" Satu jarinya menunjuk pada Janet yang mengantri dengan sabar walau orang yang melayaninya bekerja selambat siput.

"Ya."

Detik berikutnya tangan kanannya diulurkan kepadaku dan menjabat tanganku dengan gerakan cepat. Senyuman lebar dia keluarkan sampai aku bisa melihat gigi graham belakangnya. "Selamat ya, Mas. Usahanya nggak sia-sia."

Diary Of My WeddingWhere stories live. Discover now