PDA

5.5K 465 46
                                    

19 Maret 2015

Seharusnya ini menjadi hari yang indah.

Cuaca hari ini bagus. Cahaya matahari tidak terasa membakar kulit. Beberapa menit sekali, angin sejuk nan nyaman bahkan masuk ke dalam ruangan tempat aku dan Janet berada. Tidak ada pekerjaan mendesak yang menuntutku untuk menghabiskan waktu berduaan dengan laptop. Sungguh, seharusnya ini menjadi hari yang indah. Andai wanita di sebelahku ini mau memperlihatkan senyumannya sedikit saja.

Sejak pagi, senyuman absen dari wajah Janet. Dan sampai sekarang aku masih belum tahu apa penyebabnya. Karena Janet terus mengelak dengan mengatakan tidak ada hal yang mengganggunya.

Tentu saja itu bohong. Aku tahu wanitaku lebih dari dirinya sendiri.

Sekarang Janet sedang menyandarkan kepalanya di bahuku. Matanya semangat mengikuti gerak-gerik aktor favoritnya di TV, Spongebob dari Spongebob Squarepants (Kalian tidak berpikir aku akan membiarkannya menonton drama korea, bukan?). Sedangkan bibirnya masih terus melengkung ke bawah. Cemberut.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Janet?"

"Bukan sesuatu yang penting."

Sengaja aku mencari remote TV dan mematikannya begitu aku menemukannya. Janet yang kehilangan hiburannya menatapku kesal dengan kerutan di dahinya.

Gemas, aku mencubit pipi empuknya pelan. "Kapan kau menerima fakta bahwa apapun yang berhubungan denganmu dan anak kita itu penting bagiku, Janet?"

Tidak ada jawaban yang dikeluarkan oleh Janet. Yang kudapatkan malah tolakan pinggangnya, tanda dia sedang kesal padaku.

Sekali lagi, aku mencoba melunakkan hati Janet. Kutatap mata indahnya dari jarak dekat, menyebabkan hembusan nafasnya yang hangat mengenai pipiku. Sengaja kukecup bibir merahnya sekilas sebelum aku mengatakan apapun.

"Kau janji tidak akan merahasiakan apapun lagi padaku, Janet."

Merasa terintimidasi dengan tatapanku, Janet akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara. "Aku hanya tidak ingin membahasnya, Dan. Itu hal yang menjijikkan."

"Hal apa maksudmu?"

"Hal yang kemarin kita lihat saat menunggu lift di mall."

Aku terdiam dan mencoba memutar kembali memoriku tentang kemarin. Waktu itu ada sepasang kekasih muda dan beberapa pekerja kantoran di depan kami. Tidak ada hal yang menjijikkan.

"Aku tidak merasa melihat sesuatu yang menjijikkan."

Mata Janet melotot tidak percaya ke arahku. Emosi membuat kalimat Janet berikutnya naik satu tangga nada dari sebelumnya. "Kau melihatnya sejelas aku melihat hal itu, Dan! Ketika pria itu menepuk pantat kekasih wanitanya dan wanita itu hanya tertawa."

"Itu yang membuatmu kesal?"

"Iya!"

"Adegan pukul pantat itu, hal itu yang ada di pikiranmu seharian ini?"

"Iya!"

"Bukankah itu hanya keinginan dari alam bawah sadarmu saja?"

Tanganku langsung dicubit oleh Janet yang menyadari aku tidak menanggapinya dengan serius. Cubitannya tidak terlalu sakit memang, tapi tetap harus diwaspadai. Karena teman baiknya masih wanita bernama Karen Paulina.

"Dan, aku serius! Itu menjijikkan apalagi penampilan mereka menunjukkan mereka masih mahasiswa atau bahkan anak SMA! Coba kau bayangkan jika kita berdua berlaku seperti mereka?"

Ah, pertanyaan yang bahkan tidak perlu dipikirkan.

"Aku akan menepuk pantatmu." Jawabku tegas dan mantap.

Diary Of My WeddingWhere stories live. Discover now