Kereta yang dinaiki Mahesa masih bergejolak dengan kasar dan cepat. Masinisnya pasti mabuk atau kalap karena menjalankan kereta dengan cara seperti ini. Tapi setelah sekitar 10 menit terguncang-guncag akhirnya Mahesa mendapati kereta itu berhenti. Pintu gerbong terbuka dan Mahesa melangkah keluar sebelum mendapati dirinya ada di sebuah stasiun yang gelap gulita. Satu-satunya penerangan yang ada di sana hanya gerbong-gerbong kereta yang lampunya menyala seluruhnya.
Tapi sebelum Mahesa melangkah lebih jauh ia mendengar suara rintihan seseorang. Mahesa diam, dicobanya kembali untuk mendengar suara itu lebih baik.
“Uuuuhh,” suara rintihan lemah itu asalnya dari gerbong masinis. Mahesa segera berlari ke arah gerbong masinis, membuka pintu gerbong dan mendapati sang masinis, seorang pria berkumis berseragam biru gelap – nyaris kelabu – terkapar dengan luka di kepala.
“Pak? Pak?” Mahesa berusaha membangunkan masinis itu dengan menepuk-nepuk pipinya, namun pria itu tidak bereaksi positif. Alih-alih sadar, mata pria itu justru membeliak, tubuhnya mengejang dan segumpal asap hitam keluar dari mulutnya lalu melesat keluar dari gerbong masinis. Mahesa terjengkang ke belakang, dan saat dirinya berhasil bangkit berdiri kembali, ia mendapati bahwa pria itu sudah tak bernyawa.
Tak ada yang bisa Mahesa lakukan selain mengusapkan tangannya pada mata si mati guna menutup kelopak mata yang sedari tadi membelalak itu dan mencoba menghubungi seseorang lewat arojinya untuk meminta bantuan. Tapi tepat saat ia hendak menghubungi nomor 118[1] dan 110[2], ia mendapat pesan lagi dari penculik ibunya.
Siapa yang hendak kau hubungi Mahesa? Kalau sampai ada orang lain datang kemari, kami jamin ibumu akan mati dengan penuh penderitaan.
Mahesa pun gentar. Niatnya untuk menghubungi nomor darurat untuk mengurus jasad sang masinis akhirnya urung ia lakukan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah turun dari gerbong masinis ini untuk menyelesaikan urusannya sendiri.
*****
Di sini langit malam terang benderang, bulan purnama bersinar terang, membuat siluet sosok Gunung Salak yang ada di sisi sebelah selatan stasiun mati ini tampak gagah dan angker. Mahesa sendiri menatap bulan purnama itu sesaat. Biasanya di malam-malam seperti ini, jika tidak ada hujan deras, ibunya akan mengajaknya ke pura. Melakukan sembahyang dan upacara malam bulan purnama. Bulan purnama selalu menyediakan rasa aman dan tenteram bagi dirinya, seolah bulan adalah ‘ayah pengganti’ yang selalu mengawasi dirinya di saat ‘ayahnya yang asli’ telah tiada.
Dari dalam kegelapan, terdengar suara dentuman sepatu lars yang beradu dengan lantai stasiun mati. Mahesa mengaktifkan senter di arlojinya dan menyorot ke arah sumber suara. Sorot lampu senternya mengenai sosok pria mirip pria misterius yang tadi menyerang Tualen dan Merdah di gerbong kereta.
Tapi kali ini pria itu tidak sendiri. Ia bersama setidaknya tujuh orang lain yang berpakaian serupa : bermantel hitam, dan mengenakan penutup muka serta topi pet hitam. Sepatu lars mereka membuat Mahesa menduga-duga apakah mereka ini berasal dari kesatuan militer. Kalau memang benar mereka dari kesatuan militer, apa yang mereka mau dari ibunya?
“Mahesa Werdaya,” tiba-tiba seorang pria dengan intonasi bicara yang sama dengan yang menghubunginya tadi keluar sambil menuntun seorang wanita berseragam KORPRI yang mulutnya ditutup oleh karung glangsing[3]. Dilihat sekilas saja, Mahesa langsung tahu bahwa wanita itu adalah ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...