Prolog : Malam Berbadai Yang Penuh Duka

5.8K 168 17
                                    

Bogor, Tahun 2100

“Mereka sudah datang, kalian cepat pergi!” Hariwangsa membimbing istri beserta anaknya yang baru berusia 6 tahun keluar dari apartemen mereka. Di luar hujan deras tengah mengguyur kota itu – seperti biasa. Tiga orang itu berjalan dengan terburu-buru ke arah pintu keluar darurat.

“Siap berbasah-basah?” Hariwangsa berpaling pada istrinya yang hanya menjawab dengan anggukan.

“Ayah, kita mau ke mana?” tatapan polos putra semata wayangnya menatap lurus ke arah Hariwangsa.

Hariwangsa berlutut sejenak dan menatap mata anaknya dalam-dalam, “Kita akan pergi … dari kota ini.”

“Tapi … kenapa?”

“Karena …,” belum sempat Hariwangsa menyelesaikan kata-katanya, sebuah seruan segera membuyarkan pembicaraan mereka.

“Mereka di atas!” pekik seseorang dari lantai bawah.

Hariwangsa langsung bangkit dan mendorong anaknya ke dekapan istrinya, “Tari! Bawa Mahesa pergi! Aku akan menahan mereka!”

“Hati-hati, Mas!” dan perempuan itu langsung berlari keluar, berlari dalam selubung hujan.

“Kau!” pria yang menghardiknya tadi langsung mencabut medali yang menggantung di lehernya. Empat pria lain yang turut bersamanya juga melakuka hal serupa. Masing-masing medali berubah menjadi sebuah gada.

“Mati kau, Arjuna!” sang pria itu segera memutar-mutar gadanya dengan ekspresi mengancam.

Tapi Hariwangsa tidak peduli, didekapnya sebuah gelang perunggu di tangan kanannya lalu sejenak kemudian berubahlah gelang itu menjadi sebuah busur panah berwarna kuning tembaga. “Ayo maju!” katanya.

*****

Wanita itu terus berlari menembus lebatnya hujan, menyeberangi jalanan yang sepi oleh kendaraan, melintasi taman yang lengang tanpa pengunjung – sambil terus mencoba menenangkan anaknya yang sedari tadi berontak.

“Mahesa mau sama ayah! Mahesa mau sama ayah!” demikian anak itu meronta-ronta dengan hebat sehingga wanita bernama Batari itu harus membagi konsentrasinya, antara terus berlari dan menenangkan putra semata wayangnya itu. Suara ribut anak itu pastinya akan menarik perhatian dan celakanya jika sampai para pengejar itu menemukan mereka …, maka habislah sudah.

“Mau ke mana, Nyonya Cantik?” tiba-tiba suara seorang pria yang dikenalnya membuat dirinya merasa seluruh pembuluh darah di tubuhnya membeku. Dipalingkannya wajahnya ke arah datangnya suara itu dan didapatinya seorang pria yang kehadirannya sangat tidak ia harapkan.

“Rodrakarma!”

“Terkejut?”

“Mau apa kau?”

“Mengubah takdir!”

“Setan!”

“Aku? Setan? Mungkin! Tapi bahkan setan pun berhak hidup, bukan? Aku mencari hidup, dan karena untuk hidup itulah … anakmu itu harus mati!”

“Tidak akan pernah!”

“Ayolah, Subadra! Kenapa kau lindungi anak seperti dia?”

“Kau pikir seorang ibu akan menyerahkan anaknya begitu saja untuk dibunuh orang lain?” bentak wanita itu tanpa rasa gentar.

“Baiklah!” pria itu segera menghunus sebilah pisau yang terselip di balik jas hujannya, lalu tanpa ba-bi-bu lagi langsung berlari ke arah Batari yang langsung berlari lebih kencang daripada sebelumnya.

“He! Wanita yang menarik,” Rodrakarma menjilat bibirnya sesaat sebelum mempercepat laju larinya.

Jarak antara Batari dan pengejarnya sudah semakin dekat. Lima langkah … empat langkah … tiga langkah … dan Rodrakarma meloncat untuk menerkam buruannya, pisaunya diarahkan ke leher mulus wanita itu. Tapi sebelum pisau itu sempat mengenai korbannya, sebuah pedang telah merintangi laju pisau itu.

“Bangsat! Siapa kau?” Rodrakarma langsung bersalto mundur dan mengambil posisi kuda-kuda, sementara di hadapannya kini berdiri seorang pria seukuran dirinya, wajahnya tertutup syal hitam dan matanya tak terlihat di balik kacamata hitamnya.

Rodrakarma mengayun-ayunkan pisaunya ke kanan dan ke kiri, sejenak memamerkan kelihaiannya bermain pisau dan dengan cepat segera melesat maju ke arah lawannya. Tapi dengan kecepatan yang luar biasa, lawannya itu langsung menebas Rodrakarma hingga kepalanya putus dan menggelinding di jalan.

Pria itu menoleh ke arah Isnani,“Nakula sudah menunggumu! Sebaiknya Mbakyu cepat-cepat ke sana.”

“Suamiku masih di sana! Menghadapi Laskar Pralaya!”

“Biar Kakang Bratasena yang urus mereka! Kalian, cepat lari!”

*****

Surakarta, Tahun 2094

“Bagaimana kabar Mahesa?” seorang pria berwajah flamboyan tampak duduk berseberangan di sebuah ruang tamu  dengan seorang wanita yang tak lain adalah Batari.

“Sudah mulai bisa melupakan persoalan malam itu.”

“Apa yang kau katakan soal ayahnya?”

“Aku katakan ayahnya sedang bertugas di luar negeri. Meliput medan perang sehingga ia tidak akan pulang untuk beberapa lama.”

“Dan ia percaya?”

“Saat ini ya. Tapi aku tidak tahu bagaimana jadinya jika ia semakin besar nanti.”

“Oh ya, bisa panggilkan Abima … – maksudku Mahesa?”

“Kenapa?”

“Aku hendak memberikan ini,” pria itu menyodorkan sebuah gelang tembaga berukir kepada Isnani, “Astra Sarotama milik Arjuna.”

Sang Awatara II : Anak-Anak ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang