Cinta Bersemi

1.6K 69 0
                                    


Sepekan di Thailand membuat hati Fatihah rindu Tanah Air tercinta. Benar kata orang bijak, biar pun hujan emas di negeri orang masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Fatihah ingin segera pulang. Dia rindu nasi goreng, gado-gado, bakso, siomay depan kampus, rujak cingur Bu Iin di samping Kantor Pos, dan dia rindu Ayah Ibu dan Adiknya.

Fatihah mulai dilanda nelangsa, lebih tepatnya bosan. Beruntung ada Siti yang sekamar dengannya. Dia selalu punya alasan untuk tersenyum, berkat Siti.

Hari-hari dilewati dengan indah dan baik-baik saja di kampus dan di beberapa destinasi wisata Thailand. Mereka rombongan Indonesia tampak senang ada juga yang rindu keluarga dan sanak saudara.

Fatihah setiap sore video call-an dengan Ibu-Ayahnya, lewat HP adiknya. Tak lupa juga cukup sering curhat kepada Lestari, sahabatnya. Curhat tentang banyak hal yang indah dan yang kurang indah.

"Gimana sudah nemu yang sholih, Nduk" tanya Ibu, suatu pagi.

"Nyarinya di Tanah Air saja, Kak. Ribet kalau punya suami luar negeri," cletuk Adiknya di belakang. Bapak tersenyum di samping mereka.

"Aku baik-baik saja, Ibu, Ayah, Adik. Mohon doanya ya semoga semua berjalan lancar."

"Iya, Nak. Jaga kesehatanmu ya!" ucap Ibu.

Entah apalagi yang dibahas, banyak. Namun semua berlangsung singkat. Karena jarak terlalu jauh telah memisahkan Fatihan dengan Ibu, Ayah, dan Adiknya. "Sudah ah, Kak aku mau main games," Adik Fatihah menyudahi.

***

Pagi-pagi sekali selang beberapa menit dari Fatihah tidur setelah shalat subuh tadi, ada seseorang memanggil-manggil namanya di depan pagar.

"Fatiiiiiiiiiihaaa....... Fatiiiiiiiiiiiiiihaaa....... "

Suara itu terdengar seperti seorang teman kecil yang hendak mengajaknya bermain, mungkin main masak-masakan, bersepeda, atau main petak umpet di semak-semak. Suara itu milik seorang laki-laki.

"Fatihah, Fatihah..." ibu memanggil dari luar pintu kamar Fatihah.

"Ada apa, Bu?" sahut Fatihah yang masih menutup badannya dengan selimut.

"Itu ada temanmu di depan, Nduk. Kamu janjian dengannya ya?"

"Nggak,"

"Aih... sana temui dulu, kasihan dia sudah berdiri lama di depan pagar, loh!"

"Baik, Bu,"

Fatihah keluar kamar. Gadis manis itu mengucek kedua matanya. Jalan sempoyongan sambil menguap beberapa kali. Dia meregangkan tangannya pula. "Waaay... waay... Siapa sih?"

Mata Fatihah masih berat. Tapi ia harus menemui temannya yang berdiri di depan pagar rumahnya.

"Eh, kok kamu, ada apa?" tanya Fatihah sesaat setelah ia membukakan pintu pagar.

"Iya Aku, Fat. Ayo main sepeda yuk," ajak anak lelaki itu. Fatihah meyunggingkan senyum lalu mengangguk.

"Ayuk. Tapi aku mandi dulu ya. Kamu tunggu di sini dulu ya!" anak lelaki itu mengangguk dan tersenyum.

Mata Fatihah yang masih berat langsung mendadak ringan. Dia mandi sambil riang. Setelah siap dia berpamitan kepada ibunya. Ia mengeluarkan sepedanya lalu berkeliling perumahan dengan riang. Mereka kejar-kejaran ke sana-ke mari. Tapi lelaki ganteng itu yang selalu mengalah. Fatihah selalu mempimpin di sirkuit perumahan. Peristiwa kejar-kejaran ini sangat seru. Fatihah selalu menang. Bukan karena kehebatannya melaikan karena si teman lelaki itu mengalah. Dia pikir Fatihah akan kecewa kalau dikalahkan. Baginya cukup taklukkan hatinya bukan mengalahkan saat main sepeda.

Peristiwa ini persis sebuah kejadian di masa silam Fatihah. Saat teman-tetangganya, Ari selalu mengajaknya main. Sayang Ari saat kelas 5 SD terpaksa pindah ke luar kota mengikuti sang Papanya yang pindah tugas. Maka Fatihah-Ari hingga kini tak pernah bertemu lagi.

Tapi rupanya kejadian main sepeda kali ini terulang. Ini adalah peristiwa nyata dalam hidup Fatihah. Bahwa yang mengajak main sepeda pagi ini adalah Pak Yadi, ketua rombongan tamu dosen di Thailand.

"Aku ingin bertamu ke rumahmu, Fatihah. Boleh!" Suara agak berat itu keluar dari lisan lelaki tampan di belakangnya.

"Ya main aja, pakai izin segala, Pak. Ibuku kan nggak mungkin gigit. Hehe..." Fatihah tergelak, Pak Yadi tersenyum agak kecut dan terus mengayuh sepedanya. Fatihah mendapati ada obrolan agak serius ia mengurangi kecepatannya. Kini posisi sepedanya bersebelahan dengan Pak Yadi.

"Aku ingin melamarmu, Fat!"

Seketika dua ban depan belakang sepeda Fatihah mendecit, cekak. Persis kerongkongannya juga yang cekak. Ia tak punya air yang hendak ditelannya. Lalu keluarlah batuk tak berdahak. Pak Ali menyodorkan air mineral botol kepada Fatihah. Fatihah menyambut dan segera meneguknya beberapa kali.

Entah ada angin apa sehingga lelaki itu mengatakan hal itu. Fatihah pucat. Malu. Peluhnya meleleh di sekitar kening, telinga, dan lehernya. Dia seka keringat itu dengan lengan kaos panjangnya. Kerudungnya dibetul-betulkan, dirapi-rapikan kembali. Sebenarnya kondisi macam ini bisa kita sebut sebagai kondisi salah tingkah.

"Apa kau bilang?"

"Melamarmu!"

Lelaki itu ringan saja mengatakan itu. Tapi dari wajahnya dia bersungguh-sungguh.

Fatihah merasakan udara aneh neyusup di dadanya. Hatinya bergetar hingga ke kaki-kakinya. Di atas sepeda ia berdiri tapi bagai terbang ke awan. Lalu gumpalan kapas berjatuhan dari langit. Tangannya ditengadahkan. Semua nampak indah. Mawar merekah berhamburan dari langit. Inikah yang dinamakan cinta.

"Aku mencintaimu, Fat. Aku akan menikahimu. Maaf kalau hal ini terdengar terburu-buru. Maaf kalau dirasa tidak tepat waktu buatmu."

"Nggak kok... mohon beri aku waktu ya!" Fatihah serak. Sebenarnya terlihat grogi. "Maaf ya Pak."

"Iya aku mengerti, aku menunggu jawabanmu!"

Keduanya bertatapan. Mata Yadi tabrakan dengan dua balon bening Fatihah.

Itu semua hanya halusinasi Fatihah. Tidak benar ada dialog dan kejadian macam di atas. Yadi tidak mengungkapkan perasaannya. Pak Yadi hanya bertanya dan mengobrol yang ringan-ringan saja. Dan terakhir ia mengutarakan akan main ke rumah Fatihah. Itu saja!

"Rumahku di Sidoarjo, Pak!"

"Semoga aku sampai di rumahmu itu!"

Setelah mengobrol ini itu, mereka lalu berputar di tikungan depan, melewati bunga-bunga yang bermekaran di taman kampus Yala Rajabhat University. Suda itu mereka lalu menikung di sebelah air mancur, lalu terakhir mereka berbelok ke guest house tempat mereka tinggal. Kini mereka sampai di depan kamar Fatihah. Sepeda yang dipinjamnya itu mereka kembalikan ke pihak pengelola. Lalu Fatihah berpamitan kepada Yadi. Pamit masuk kamar. Yadi mengiyakan.

Mata Yadi mengantarkan badan Fatihah sampai di depan kamarnya. Fatihah menoleh, melempar salam dan melambaikan tangan. Fatihah menahan kegembiraan di hatinya. Sampai di dalam kamar dia peluk sahabatnya si Siti bagai memeluk ibunya sendiri.

"Ciye yang lagi seneeeeng! Selamat ya, Mbak. Pak Yadi cocok buatmu," ucap Siti.

Fatihah makin erat memeluk Siti dari belakang saat Siti sibuk mengetik laporan, duduk menghadap laptop di meja.

Pak Yadi mematung di sana, agak jauh dan masih melihat kamar Fatihah. Fatihah menyingkap korden, Pak Yadi masih di sana. Korden ditutup, Fatihah tersenyum manis tak berkesudahan. Sungguh rihlah cinta pagi yang indah. Fatihah bertualang mirip dengan kisah masa kecilnya. Dan yang membangunkan tadi adalah Siti, bukan ibunya. Yaa ampun... indahnya... indahnya...!

Cinta bersemi di luar negeri, rupanya. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now