Selasar

300 8 0
                                    

Subuh itu Riani sudah terbangun, harusnya Riani sudah dengan training dan baju olahraga untuk sekedar marathon, hari itu tak seperti biasa, diawali dengan memasak nasi goreng yang merupakan menu andalannya, ia masukkan hasil masakan kedalam sebuah wadah beserta lauk dan teh pada termos panas.

Berdandan make-up tipis, sambil tersenyum menghadap ke cermin, entah apa yang dipikirkannya, mungkin jika ada yang melihat bisa dianggap 'Gila' ia. Terbalut cardigan hitam, rambut Riani yang sedikit melebihi bahu dengan warna kecoklatan terlihat lebih berkilau, dengan dress putih selutut terpampang kaki jenjangnya.

Mengendarai series 8 nya, Riani meluncur ketempat lelaki impiannya yang sedang terbaring dirumah sakit. Sayu mata Riani, bagaimana tidak, semalaman ia tidak dapat melelapkan matanya, mengutuk dirinya sendiri, begitu bodoh dan teganya ia meninggalkan Pandji yang sedang dalam kesulitan, terlampau itu Riani masih saja mengingat bau badan Pandji.

Di pintu gerbang bangsal Riani sudah duduk hanya ditemani bungkusan yang ia buat sejak subuh tadi,

"creek", kunci pintu gerbang dibuka oleh petugas saat kehadiran dokter visit, setelah dokter masuk dan beberapa orang dari dalam keluar, pintu itu digembok kembali.

'pak, waktu berkunjung jam berapa ya pak?', ujar Riani,

'nanti ya dek, baru dibuka jam 8 dek', kata petugas,

'tapi itu ada pengunjung yang sudah keluar pak?'

'ooo, itu pengunjung yang minap dari semalam dek, keluar karena ruangan mau dibersihkan'.

Melirik ke arlojinya, 3 jam lagi Riani harus betah menunggu di selasar. Duduk diselasar bersama kerumunan orang, banyak mata yang dapat dipandangnya, mulai dari emak-emak, bapak-bapak, pemuda-pemudi sampai anak-anak yang semuanya lusuh mungkin karena mereka masih mengumpulkan nyawanya, kecuali mereka yang baru saja datang sehabis sholat subuh di masjid depan gedung. Begitupun sebaliknya, banyak mata dari orang-orang yang lusuh tadi memandangi Riani yang begitu mempersonanya pagi itu. Khususnya kaum lelaki, tak peduli tua, remaja dan muda, sepertinya mereka tidak dapat mengedipkan matanya memandangi Riani, lebih fokus mereka adalah belahan betisnya keatas.

Jengah dengan keadaan seperti itu, muncullah ide briliannya, setelah sibuk dengan aplikasi di handphone, pergi ia masuk kedalam mobil untuk mengambil sepatu ket dan menaruh tempat makanan, sambil meregangkan otot seluruh badannya, Riani berjalan menjauhi Rumah Sakit sembari mencari penjual kopi.

Satu jam telah berlalu, dihabiskan Riani untuk mencari penjual kopi dan berbincang-bincang dengan ibu penjual kopi panggul. Perempuan paruh baya itu bercerita bahwa memang biasa berjualan sehabis ba'da subuh, dengan bermodal sepeda onthel ibu tersebut membawa jualannya dari rumah yang jaraknya hampir 2 Km,

'memang ibu mah setiap hari berjualan di rumah sakit non, ini ibu mau kesana, Ya karena disana cocok non, banyak yang cari kopi pagi-pagi gini, enon dari rumah sakit juga?' ujar sang ibu,

'iya bik, Riani dari Rumah sakit, tapi belom boleh untuk menjenguk',

'oo, iya non', 'yaudah non ayok kita kerumah sakit'

'iya, yuk bi, pelan-pelan aja ya bi', ujar Riani sembari sibuk dengan Gadgetnya.

Sampai di pintu gerbang rumah sakit Riani memperlambat langkahnya,

'bi, tunggu sebentar bi'

'halo, dimana mbak?', sahut seseorang dari seberang telepon genggamnya,

'ini pak, didepan gerbang rumah sakit',

Tiba-tiba Riani dihampiri oleh seseorang pengendara motor,

'mbak Riani?', Riani menganggung mengiyakan,

'ini mbak pesanannya, 50 bungkus ya mbak, nasi uduk telor'

'oke, terima kasih ya pak, ambil saja kembaliannya pak' ujar Riani sembari memberikan uang,

'alhamdulillah, terima kasih mbak Riani', pamit bapak tersebut.

Ditunggunya bibik penjual kopi memarkirkan sepeda dan dibantu bibik tersebut mengangkut jualannya, sampai diselasar di cari tempat yang sedikit longgar untuk menaruh barang dagangan bibik dan plastik yang berisi nasi uduk,

'bik, tolong bagikan saja nasi uduknya, Riani ambil barang dulu dimobil, sekalian kopinya bik dibagikan saja ya, Riani borong' ujar Riani

'iya non, beres'.

Ternyata ide cemerlang Riani tersebut mengubah sebagian raut wajah mereka yang tadinya lusuh tanpa obrolan, berubah menjadi suasana yang ramai, ulah energi yang dihasilkan dari sebungkus nasi uduk dan secangkir kopi bibik, para lelaki yang tadinya sibuk dengan belahan Riani, sudah berganti kesibukannya dengan hisapan rokok masing-masing ditangannya, sesekali diselingi seruputan kopi bibik.

Pagi itu selasar bangsal tempat Pandji dirawat seolah ramai sekali pengunjung, setiap orang yang baru datang langsung bersalam-salaman, datang lagi bersalaman lagi, langsung berbincang hangat, setidaknya ada puluhan orang berkumpul di selasar bangsal. Mata Riani melirik mencari orang yang mungkin ia kenal, sorot matanya bertemu dengan sosok orang yang tadi malam sempat ia lihat, ketua umum pecinta alam.

AKU, PEREMPUAN DENGAN SEGALA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang