13. Ostekake

2.1K 370 10
                                    

(Makanan lezat memang bisa membuat hati senang)

Kale menemukanku sedang sibuk menghitung butiran air hujan yang tercurah dari langit. Sebuah pekerjaan sia-sia memang, tapi aku sudah bingung mau berbuat apa setelah kejadian tadi dengan Ray. Kakakku itu lalu duduk di sampingku.

"Kalian kenapa?" Pertanyaan Kale memang sederhana, namun aku tidak mendapat jawaban dari apa yang ditanyakannya.

"Entahlah," jawabku pada akhirnya. Kale menghela napas.

"Ray juga kaya gini tadi. Jadi, siapa yang mengacaukannya? Siapa yang menyatakan cinta?" Kali ini aku melihat wajah Kale dengan mulut ternganga kaget.

"Kok lo tahu?" Dia tertawa mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku tanpa sadar.

"Apa lagi yang bisa membuat kalian dua manusia gila bisa saling diam-diaman seperti ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Mau ngobrol sama gue?"

Aku tidak bisa berkata apa pun kecuali langsung memeluk Kale yang cukup kaget menerima pelukanku. Dia mengusap kepalaku pelan namun tetap tidak berkata apa-apa. Mungkin dia menungguku siap untuk bicara.

Setelah menghela napas berkali-kali akhirnya aku bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Soka dan bagaimana Ray berubah menjadi seperti bukan dirinya. Kale mengerutkan dahi seperti berpikir keras.

"Gue ngerti, La. Ray berbuat itu bisa jadi karena dua hal. Pertama, dia takut kehilangan teman yang sudah menemani hampir separuh hidupnya."

"Tapi kan gue juga nggak bakal ninggalin dia gitu aja, Kale. Masa cuma gara-gara gue punya pacar, dia kaya gitu?" kataku tidak terima.

"Dengerin dulu. Kedua, dia benar-benar cinta sama lo sampai seperti itu."

Kali ini aku bungkam, tidak tahu harus berkata apa. Semuanya benar-benar memusingkan. Belum selesai masalah dengan Caramel, sekarang muncul lagi masalah sama Ray. Rasanya belakangan ini semua hal terjadi bersamaan.

"Lo mau pulang dulu? Coba menjauh dari Ray sebentar aja. Biar dia juga bisa mikir." Aku mengangguk, lalu berdiri untuk bicara dengan Ray. Pergi begitu saja setelah ditolong rasanya sangat tidak berperasaan. Kale mengerti maksudku, dia berbaring di tempat tidur tamu dan memejamkan mata.

Kamar Ray nyaris gelap gulita. Aku menyalakan lampu dan menemukannya duduk bersandar pada kaki tempat tidur menatap buliran air, persis sepertiku. Ray juga suka melihat hujan sama sepertiku namun saat ini dia seperti orang kesepian dan terasa jauh.

"Lo mau pergi, La?" Ucapan itu terdengar seperti orang yang sakit hati.

"I ruined everything, right? Seharusnya gue nggak ngomong kaya gitu," katanya lagi. Aku menghela napas karena nada kalimatnya membuat hatiku tergores nyeri.

"Look, Ray. Kita udah temanan bertahun-tahun, nggak ada yang gue sembunyiin dari lo. Apa yang terjadi tadi mungkin hanya emosi sesaat. Mungkin kita harus mundur selangkah untuk berpikir jernih." Ray menghela napas berat lalu berpaling, kembali melihat bulir hujan.

"Kalau itu mau lo." Ucapan singkat itu yang menandai perpisahan kami. Aku mengangguk dan langsung berpamitan, mencoba memberi jarak untuk berpikir ulang tentang hubungan kami.

Sepanjang perjalanan lagu Photograph Ed Shareen menemani. Nada-nada berisi kerinduan yang dilantunkan terasa menyayat hati dan air mataku jatuh tanpa tertahan. Kale hanya terdiam, mencoba memberikan ruang agar aku bisa menenangkan diri sendiri. Dia hanya mengelus rambutku pelan, tindakan yang malah membuatku mengingat Ray serta hubungan kami yang absurd.

Loving can hurt, loving can hurt sometimes

But it's the only thing that I know

When it gets hard, you know it can get hard sometimes

A Cheezy Love (Completed)Where stories live. Discover now