2. Strawberry Cheesecake

4.1K 495 8
                                    

(Tentang hidup yang dibagi bersama sahabat. Life is just like a piece of strawberry cheesecake)

Aku bekerja di DNA, Digital Nuclear Advertising, sebuah perusahaan periklanan yang besar di Jakarta. Ray, laki-laki yang menegur saat aku menatap lapar dan meneteskan air liur saat melihat si handsome crabby patty adalah rekan kerjaku.

Ray adalah art director yang bertanggung jawab untuk membuat storyboard, print ad dan segala hal yang berkaitan dengan visualisasi. Kalau Ray yang berhubungan dengan visual, aku berhubungan dengan tulisan alias copywriter. Kami bekerja sama menghasilkan karya yang nantinya bisa dinikmati baik di layar televisi, media cetak maupun billboard.

Kupandangi pintu tempat Bartlet Ajisoka, si pemilik gerai makanan manis bernama cheesecake yang menjadi client terbaruku. Sambil mendesah, kusenderkan punggung dan malah membayangkan bagaimana wajah tampan laki-laki itu tersenyum dan bicara. He's really hot and handsome crabby patty.

"La? Vanilla? Earth to Vanilla!" Aku mengedip, kembali fokus pada segala hal yang diocehkan Ray padaku setelah meeting berlalu 30 menit yang lalu.

"Lo suka sama dia ya?" tanya Ray dengan dagu menunjuk pintu yang baru saja dilewati oleh Soka. Wajahku langsung merona. Sial, cowok ini!

"Oh my little Vanilla udah besar. Udah kenal cinta-cintaan," ledek laki-laki sambil tertawa. Kupukul bahunya dengan kesal dan menunggu sampai tawa terakhirnya menguap.

"Udah selesai ketawanya? Sekarang ini gimana? Lo ada ide buat bikin konsepnya?"

"Lunch, yuk. Sambil nyobain cheesecake baru." Bukannya menjawab, laki-laki jangkung ini malah berdiri dan mengambil waist bag yang lalu dikenakan seperti tas selempang.

Demi mendengar kata cheesecake, aku langsung melompat berdiri dan mengambil tas kamera. Ray mengangkat satu alisnya saat melihatku malah membawa tas kamera dan bukannya ransel yang berisi segala macam kebutuhanku.

"Kamera banget, La?"

"Iya. Buat foto makanan kan bagus. Siapa tahu malah dapat ide buat bikin copywriternya."

"Emang sih tujuannya biar lo tetap kerja." Ray tertawa sambil mengacak rambutku.

"Lo tuh ya, emang kebangetan. Ini gue nyisir lama biar halus kaya ...." Kalimatku berhenti tepat pada waktunya. Sahabatku satu ini paling tidak suka dengan kalimat rendah diri yang katanya sering keluar dari mulutku.

"Vanilla Ambrosia Imurina, mau diapain juga lo tetep cantik apa adanya. Percaya diri sedikit kenapa, sih?"

Seperti kuduga, Ray langsung bicara panjang lebar tentang rendah diri dan bagaimana cara mengatasinya. Mungkin mudah untuknya bicara. Dia tidak pernah dibandingkan dengan orang yang berbagi napas sejak dalam kandungan.

"Shut up, please! Gue mau lunch dengan tenang dan menikmati cheesecake nikmat. Eh, kita mau kemana, sih?" Aku bicara sambil berjalan dengan kecepatan tinggi menuju lobi. Ray menarik lengan dan menuntunku ke taksi online yang dipesannya.

Beberapa karyawan yang ada di sana melihat kami, sebagian berbisik-bisik. Aku tahu, orang-orang membicarakan Ray. Tubuh tingginya hanya terpaut dua sentimeter dengan Kale, 187 sentimeter. Rambut dengan model undercut cocok di wajah dengan rahang perseginya. Auranya yang maskulin memancing mata-mata perempuan normal manapun untuk melihatnya. Mungkin aku adalah perkecualian.

"Ray, lo bisa nggak sih, nggak usah gandeng-gandeng gue kalau jalan?" tanyaku sambil duduk. Si jangkung hanya tertawa lalu memasang seatbelt.

A Cheezy Love (Completed)Where stories live. Discover now