Dua

24 2 0
                                    

.        .        .

"Angkat kepalamu, Fayo! Masih ada kesempatan lain, Mama akan mencarikan proyek-proyek internasional yang kamu bisa ikut, seperti kakakmu dulu. Jadi, sekarang kamu masuk sekolah dan belajar yang rajin. Jangan biarkan mereka memandang rendah kamu hanya karena tidak lolos program AFS. Oke?" itu yang dikatakan Mama saat mengantarku ke sekolah pagi ini.

"Iya Ma," jawabku singkat lalu keluar dari mobil.

Tidak ada yang akan memandang rendah padaku hanya karena aku tidak lolos program AFS. Kurasa, hanya aku sendiri yang membuat segalanya tampak seolah seperti tragedi.

Apakah Mama juga akan melakukan hal yang sama jika aku tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku? Tapi itu berarti aku harus tahu dulu, apa yang ingin kulakukan dalam hidupku.

What is your purpose for life, Fay?

Kupikir aku ini orang yang sangat angin-anginan. Yah, aku berubah setiap detik. Ketika baru selesai menonton film sci-fi semacam Interstellar atau The Martians, maka aku akan terpikir apakah aku hidup untuk menemukan sesuatu yang akan kutinggalkan agar kehidupan manusia menjadi lebih baik?

Beda lagi saat aku selesai menonton film 99 cahaya di langit eropa, atau film-film bergenre religi lainnya. Maka aku akan sadar bahwa diriku ini sangat kecil, dan Allah itu maha besar. Maka aku akan rajin sekali beribadah.

Tapi ide tentang jawaban dari pertanyaan kenapa aku diciptakan ke dunia ini, masih juga belum kudapatkan. Bersama dengan segala 'why' yang belum terjawab itu, kemudian selalu muncul perdebatan di dalam diriku sendiri. How if you change the question? Apa yang ingin kamu lakukan di dunia ini Fay?

Yeah, I admit it. Aku juga belum tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.

Seperti biasa, teman-teman se-geng-ku menyapaku saat aku tiba di kelas X-IPA-2. Mereka adalah Reva, Didda dan Yuriz.

"Fay, lo mau kuliah kedokteran ya setelah lulus SMA?"

"Hah?" Aku kaget setengah mati. Kenapa Reva tiba-tiba menanyakan hal semacam itu?

Sadar dia butuh menjelaskan kenapa, Reva membuka bibirnya angkat bicara lagi. "Kita lagi bahas setelah lulus SMA mau kuliah dimana. Kita bertiga ternyata sama, pengennya di ITB. Gue pengen di SBM,"

"Gue Arsitektur," Mata Didda berbinar-binar saat mengatakan pilihannya.

"Gue Penerbangan. Lo kayanya pengen kedokteran ya?" Yuriz kini yang ganti bertanya.

Hanya satu kalimat yang terpikirkan olehku detik ini. "Tahu darimana?"

Yuriz tersenyum lebar. "Nebak aja. Biasanya murid paling pintar satu sekolah masuk ke kedokteran," ujarnya sambil tertawa.

Aku mengeluarkan suara tawa yang semoga tidak tampak dibuat-buat. "Oh, gitu ya,"

See? They have a visionary vision of their future. Mereka jatuh cinta dengan pilihan-pilihan yang akan mereka ambil di masa depan. Jatuh cinta dengan rencana-rencana manis yang menantinya di ujung jalan. Apa yang benar-benar kamu inginkan, Fay? Kedokteran? Kamu sendiri tahu kalau itu bukan benar-benar sebuah pilihan yang membuatmu jatuh cinta lagi dan lagi.

Memang benar bahwa satu semester kemarin, aku adalah juara kelas, sekaligus menempati ranking pertama di sekolah. Semester dua ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa menduduki posisi itu atau tidak. Adalah kiamat, kalau sampai aku tidak menjadi yang pertama di jajaran ranking akademis itu. Setidaknya kiamat di kehidupanku sendiri kalau dilihat dari kacamata Mama.

Beruntung, tidak ada satupun diantara empat temanku yang tahu track record kakakku. Dan mereka tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan kakakku yang super sempurna itu. Sehingga, aku selalu merasa damai saat menghabiskan waktu di sekolah. Rasanya seperti aku menjelma menjadi sosok Fayo yang ramah, suka tersenyum, dan ceria. Aku suka sekali berada di sekolah, apalagi rooftop-nya. Aku paling suka pemandangan yang tampak ketika aku nongkrong disana, dengan fakta bahwa tidak ada seorang pun yang menggangguku.

.      .      .

TopengWhere stories live. Discover now