01-2

35 1 0
                                    

"Ferya!"

Suara lantang itu memenuhi ruang kelas. Keadaan sepi dan aku tengah mempersiapkan diri sebelum memasuki ruang pengamatan. Ini kedua kalinya kami mengamati mayat, tapi rasanya berbeda. Jika pada pengalaman pertama aku merasa gugup, maka kali ini aku lebih merasa enggan. Enggan mengamati, enggan berada di sana, dan enggan menjalani interaksi dengan oranglain.

"Ferya!"

Suara itu kembali menggema di telingaku. Memaksaku untuk bergerak lebih cepat dan menyusul langkahnya dengan sedikit berlari.

"Kau tidak harus berteriak, aku mendengarnya." Kataku begitu berhasil menyamai langkahnya.

"Kau lelet sekali, Fer."

Aku sengaja melakukannya. "Kau bisa pergi lebih dulu. Sudah kubilang tidak perlu menungguku."

Dia mencibir perlahan. "Meninggalkanmu di kelas sendirian kemudian membiarkanmu kabur dari jadwal pengamatan? Jangan harap."

"Aku tidak pernah bilang kalau aku akan kabur, Yudha."

Yudha tidak merespon, matanya menatap lurus jalanan di depannya. Sementara aku tidak berminat untuk mengisi keheningan yang terjadi di antara kami.

Namanya Yudha. Arif Yudha Satrio. Laki-laki yang berhasil menimbulkan perasaan nyaman padaku. Aku sendiri tak mengerti, rasa nyaman itu timbul seiringan dengan pertengkaran yang terjadi di antara kami. Dan tanpa sadar aku menyukainya; aku menyukai setiap detik dan setiap kata-kata yang ia gunakan dalam pertengkaran kami.

Ia berhasil menimbulkan perasaan nyaman itu dengan cara yang berbeda.

Bagai membuka celah atau jalan kecil menuju sesuatu yang kuharapkan dapat membawaku pada akhir yang bahagia.

"Fer," Panggil Yudha perlahan.

Aku menoleh tanpa suara, menunggu kelanjutan perkataannya.

"Apa yang kau rasakan saat melihat mayat?"

Pertanyaan itu tidak langsung kujawab, mulutku sibuk ber-hmm ria sambil menimbang-nimbang jawaban yang sesuai. "Aku tidak tahu." Jawabku pada akhirnya. "Hanya saja kali ini aku tidak merasa takut."

"Tentu saja kau tidak takut." Ujar Yudha. "Wajahmu bahkan lebih menyeramkan daripada mayat-mayat tersebut."

Dia menghiburku. Dan tanpa sadar aku tertawa kecil sambil berusaha memukul tubuhnya. Kami sering bertingkah seperti ini; ledek-meledek kemudian saling membanggakan diri. Aku tidak marah ketika dia meledekku, tidak juga merasa iri ketika dia dengan sangat bangganya menyombongkan diri. Aku merasa terhibur.

Untuk suatu alasan yang tak pasti, dia kembali berhasil membuat jalan-jalan kecil di hatiku. Seakan-akan memaksa untuk masuk ke dalam hatiku, meski aku tak tahu pasti isi hatinya.

Yudha merupakan tipikal orang yang tersenyum pada siapapun. Oleh karena itu, sulit untukku menebak isi hatinya dan memperkirakan sesuatu yang melayang dipikirannya.

"Apa yang kau rasakan saat pertama kali melihat mayat?" tanya Yudha lagi.

Kali ini aku menjawabnya tanpa berpikir. "Rasanya seperti berada di ujung kehidupan, dan kemudian aku tersadar kalau suatu saat aku akan terbaring dan menjadi pusat pengamatan calon-calon dokter lainnya."

Dia tak langsung membalas. Langkahnya terhenti dan matanya menatapku dalam. "Kau bicara seperti orang yang akan mati."

"Oh." Responku seraya menatapnya yang kini berdiri di belakangku. "Kau tidak akan pernah tahu kapan nyawamu berakhir dan kau tidak lagi menatap langit biru."

Dan kemudian dia melanjutkan langkahnya. Ruang pengamatan sudah terlihat dari tempat kami berjalan.

"Ferya Ameliana." Panggil Yudha, tepat beberapa meter sebelum kami sampai. "Kata-katamu membuatku tersentuh, tapi juga takut."

Aku terhenyak. Apa yang baru saja ia katakan?

"Kita memang tidak tahu kapan kehidupan dunia mengatakan tamat pada cerita kita. Tapi bersikap seakan-akan kau akan mati tidak akan membawamu pada kenyamaan di dunia, sesungguhnya kau harus menemukan kenyamanan itu dihidupmu."

Bagai batu yang dihempaskan secara bebas ke tubuhku, aku merasa tubuh ini berat. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya, dan darah yang mengalir di tubuhku terasa membawa sengatan-sengatan yang mengejutkanku.

Yudha melanjutkan langkahnya. Meninggalkan diriku yang mematung sempurna memikirkan semua perkataannya.

Perasaan itu kembali menunjukkan reaksi-reaksi aneh.

Rasanya seperti menemukan sesuatu yang selama ini kau cari.

Seperti menemukan emas di tengah tumpukan sampah.

Terlihat mustahil tapi tak ada yang tahu kebenarannya.

Yudha memintaku untuk menemukan kenyamanan dalam menjalani hidup. Laki-laki itu baru saja memintaku untuk tidak betingkah seakan-akan hidup ini beban yang tidak diketahui kapan berakhirnya. Beban yang membuatku tidak nyaman.

Hanya saja laki-laki itu tak pernah tahu. Ia tidak pernah tahu tentang rasa nyaman yang menyelimutiku setiap ia berada di sisiku.

Ia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu.

***

Tiga puluh menit terasa sangat cepat. Bahkan untuk ukuran seorang pemula sepertiku, tiga puluh menit tidaklah cukup untuk mengetahui perubahan-perubahan dari tubuh seseorang yang sudah meninggal.

"Kau mencatat hasilnya, 'kan?" tanya Yudha ketika kami keluar dari ruangan.

"Tentu saja." Meskipun aku sedikit tak yakin dengan hasil pengamatanku.

Yudha mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu kuserahkan semua data padamu."

"Baiklah." Tanggapku singkat.

Beberapa menit yanglalu kami berada dalam ruangan yang sama. Mengamati bersama dan saling bertukar pendapat. Harus ku akui; aku suka bekerjasama dengannya. Ia membantuku, dan juga menghiburku. Meski banyak mahasiswa lainnya yang juga melakukan pengamatan, dia tetap fokus padaku sampai tugas kami benar-benar selesai.

Kebahagiaanku tidak hanya sampai di sana. Tadi, di dalam ruang yang berisi mayat-mayat, ia duduk tepat di sebelahku. Mendiskusikan hasil kerja kami yang masih belum sempurna. Jarak kami sangat dekat-bisa dibilang ini merupakan jarak terdekat kami-dan aku berkesempatan untuk menatapnya lebih dekat lagi.

"Ferya."

Aku mengerjap sejenak. Memperhatikan Yudha yang berhenti melangkah. Matanya menatapku sejenak, kemudian beralih pada objek lain yang berdiri tak jauh dari tempat kami.

Aku melihatnya. Gadis yang sangat dekat-bisa dibilang lebih dekat dibandingkan diriku-dengan Yudha.

"Aku harus pergi." Ujar Yudha, kembali mengalihkan perhatianku dari gadis itu. "Kupercayakan hasil pengamatan itu padamu." Katanya sebelum meninggalkanku.

Aku tak tahu apa yang membuatku tak bisa memberikan respon. Mulutku terlalu kaku untuk berkata 'iya' atau 'hati-hati di jalan'. Selain itu, otakku juga bekerja dengan sangat lambat.

Yang sempat kulakukan hanya menatap punggungnya yang mulai menjauh dari tempatku berdiri. Tersenyum kecil sambil merelakan kepergiannya.

Aku tak ingin berlarut dalam perasaan ini. Perasaan yang tidak kutahu pasti seperti apa akhirnya dan bagaimana cara mengendalikannya. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang berpikir bahwa rasa nyaman sejenak yang kurasakan merupakan rasa cinta yang menuntunku ke dalam hubungan yang-mungkin-tak pernah ada.

Aku menghela napas panjang. Membiarkan perasaan nyaman itu mengalir bergitu saja dalam diriku. Membiarkan laki-laki itu mengisi rasa nyaman di hidupku.

Meski berakhir menyedihkan.

Meski tak ada seorangpun yang tahu.

Meski perasaan itu sedikit-demi-sedikit mempermainkanku.

Tapi aku tahu satu hal; jangan pernah menganggap remeh perasaan nyaman yang menyelinap dalam hidupmu, karena sesungguhnya perasaan itulah yang menunjukkanmu pada jalan kecil yang kau sebut cinta.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang