Epilog

13 1 0
                                    

"Apa yang kau cari, Fin?"

"Ponsel—Semuanya yang ada di tas genggamku. Kau melihatnya?"

"Aku tidak yakin. Dimana terakhir kali kau letakkan?"

"Di sini." Ulfina menunjuk sisi kanan meja. "Aku yakin sebelumnya tas aku ada di sini."

"Kau sudah tanya yanglainnya? Rosa, Dina dimana?"

"Mereka pergi membeli makanan—Tunggu! Rosa membawa tasku!"

Keduanya berlari keluar dari cafe langganannya, menyusul Rosa dan Dina yang sudah hilang dari pandangan mereka.

"Sebelah sini, Mel." teriak Ulfina. Kakinya melangkah lebih cepat memasuki wilayah kantin kampus mereka.

Dan ketika keduanya berhasil menemukan sosok tubuh Rosa dan Dina, keduanya menghentikan langkah. Berdiri tempat mereka sambil mengatur nafas.

Keduanya bertatapan sejenak. Dari tempatnya, Amel dan Ulfina bisa melihat Rosa dan Dina—dan dua laki-laki lainnya; Farhan dan temannya. Rosa asik berbincang dengan Farhan, sementara Dina terlihat malu dan canggung bersebelahan dengan Rendra, laki-laki yang datang bersama Farhan.

"Apa-apaan mereka?" Amel mendapati dirinya bersuara. Tak percaya dengan apa yang dilihat oleh kedua bola matanya.

"Mel," panggil Ulfina. "Kau mungkin tidak akan suka ini."

Amel memutar kepalanya. Dari sisi kanan kantin, terlihat Yudha dengan jaket birunya. Laki-laki itu berjalan menuju salah satu meja di sisi kiri kantin, kemudian menyantap makanannya. Tapi ia tidak sendiri. Ada gadis lain yang menemaninya—gadis yang dikenali Amel sebagai teman dari kelas lain. Oh ia tidak tahu kalau mereka berpacaran.

"Aku tidak tahu kalau mereka bersama." ujar Amel santai. "Aku baik-baik saja, Fin. Bagaimana Alvin?"

"Dia baik—setidaknya kufikir seperti itu. Aku masih belum berani menghubunginya."

Belum sempat Amel menanggapi Ulfina, keduanya sudah diusik dengan kedatangan Rosa dan Dina.

"Gebetan baru?" tanya Amel, menggoda Dina.

"Bukan. Hanya salah satu teman baru."

Ulifna menatap Rosa, berniat menggodanya.

Rosa menghela napasya. "Ulfina, aku sudah menyerah sejak saat itu. Dan Mel, maaf untuk itu." katanya menunjuk pada Yudha.

Amel mengangguk perlahan, bibirnya tertarik membentuk senyum sederhana. "Apa artinya semua ini?"

"Entahlah."

"Apa ini awal untuk cerita lainnya?"

"Aku tidak tahu. Tapi kurasa mungkin memang seperti itu."

"Lalu apa?"

"Oh Ayolah, jangan katakan padaku kalau kita harus mencari jalan lain."

"Menurutku tidak—Ini seperti cerita baru."

"Cerita baru?"

"Ya. Kondisi seperti ini—perubahan disetiap tempat, pergantian suasana, latar masalah baru—sudah dipastikan cerita baru."

"Bukankah ini pilihan kita?"

"Tentu saja. Semuanya di mulai ketika kita memilih."

"Dan sekarang kita berada dalam pilihan kita. Melanjutkan cerita baru sesuai pilihan kita."

"Wow, benar-benar tak terduga."

"Aku tahu itu. Cinta memang tak terduga, bukan?"

*

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang