11. Happy

917 58 2
                                    

Ara menaruh tasnya, mengeluarkan sebuah buku novel, lalu menggunakan earphone. Bukankah nampak normal untuk seorang Ara? Tapi ada satu hal yang tak normal sehingga Adnan hanya bisa memperhatikannya daritadi. Ara nampak sangat bahagia, senyum jelas terpancar dari wajah gadis itu.

"Kenapa lo?" Tanya Adnan dengan wajah bingung.

"Apanya?" Tanya Ara balik. Ia rasa tak ada hal yang aneh dari dirinya, jadi untuk apa Adnan bertanya?

"Lo kayak lagi bahagia banget. Habis nemu duit?" Ledek Adnan.

"Gue harapnya gitu, cuma gak nemu." Balas Ara.

"Serius deh, lo kenapa? Sakit ya?" Tangan kanan Adnan memegang kening Ara, lalu tangan kirinya memengang keningnya. "Gak panas tuh."

"Ihh.. apaansih." Ara langsung menepis tangan Adnan. "Gak usah rusak suasana deh."

"Kenapa? Gara - gara ntar malem lo jalan sama cowok ya?"

"Pftt.. iyain deh." Ara terkekeh mendengar pertanyaan Adnan yang menunjukkan bahwa ia percaya dengan guyonan Ara beberapa waktu lalu. "Gue mau jalan sama cowok." Sekali lagi Ara terkekeh.

"Ohh.." jawab Adnan yang sebenarnya sudah tau tujuan Ara malam ini. "Moga cowok yang lo ajak jalan baik ya? Kasian dia, harus jalan sama kucing besar."

"Bodoamat gue." Ara kembali membuka novelnya, senyumannya pun kembali bersemi.

***

Ara sedang mengutak - ngatik lemarinya, melempar baju sana - sani. Ntah apa yang ia cari. Namun akhirnya wajahnya seperti mengatakan 'i got it'.

Ia menarik sebuah gantungan yang menggantung sebuah jumpsuit berwarna coklat muda. Sebenarnya dibilang jumpsuit juga bukan, ya intinya model - model baju kodok namun dengan kain katun.

"Yes, nemu juga. Jarang - jarang gue pake ginian." Gumamnya.

Kring..
Vika: Ra, lo dimana. Ini udah mulai pada dateng loh.

Melihat pesan tersebut, ia menjadi lebih terburu - buru dibanding beberapa menit lalu. Diraihnya sebuah tas selempang dari gantungan di balik pintu.

"Ohh.. emang gitu dia anaknya." Samar - samar terdengar suara Ayah yang ntah sedang mengobrol dengan siapa.

Ara keluar kamar, niatnya sih menghampiri Ayah untuk berpamitan, tapi ia terkejut melihat siapa yang sedang mengobrol dengan Ayah.

"Nah ini orangnya, jaga baik - baik ya, Nan. Anak Om satu - satunya nih." Ucap Ayah sambil menepuk pundak Ara. Kalian denger inisial 'Nan' disebut gak? Iya, itu Adnan.

"Lo ngapain?" Tanya Ara kebingungan.

"Nganterin lo." Jawab Adnan.

"Emang lo tau gue mau kemana?"

"Tau."

"Kok bisa? Lo--"

"Udah, pergi sana. Kasian Adnan ditanyain mulu, emang kamu wartawan?" Sahut Ayah sambil mendorong Ara pelan.

Ara memutar bola mata ringan, "yaudah, Ara pergi."

Adnan menarik gas di tangan kanannya. Tenang, gak ngebut kok.

"Lo stalking gue ya? Kok bisa tau sih?" Tanya Ara dengan volume yang ditingkatkan agar Adnan dapat mendengar.

"Pd amat lo. Gue stalking-in juga gak guna, lo gak pernah ngepost apapun." Jawab Adnan yang masih fokus pada jalanan.

"Terus?"

"Gue juga mau ke kafe làrido. Ada temen gue yang ngajak ikut acaranya, yaudah gue ikut."

Gak diajak sih, guenya yang mau.

"Kok lo bisa tau gue ikut juga?"

"Gue ada liat nama lo di list."

"Ohh.. kok lo gak ngasih tau gue sih tadi pagi?"

"Kan biar surprise."

"Tapi gue gak ter-surprise-kan."

"Pura - pura kaget dong."

"Omaygat, gue kaget." Ara menutup mulutnya seperti sedang terkejut. "Puas?"

Adnan hanya mengacungkan jempol kirinya.

***

Krettt..
Adnan mengerem tepat di garis parkiran kafe. Ngeremnya sih bisa dibilang agak tiba - tiba, sehingga Ara terdorong ke depan.

Ara menepuk pundak Adnan, "mas, bisa gak ngeremnya lebih halus gitu? Kan gak lucu kalo saya kepelanting ke depan? Saya kasi bintang 3 nih."

Adnan terkekeh ringan, "aduh mba, maaf, jangan dikasi bintang 3 dong. Lagian mba gak bakal kepelanting kok kalo sama saya, kan masih ada pundak saya ini." Ia menepuk - nepuk pundaknya. "Enak buat bersender."

"Najis." Ketus Ara. Ia berjalan memasuki kafe, diikuti dengan Adnan di belakangnya.

"Ra, lo--" Ara tiba - tiba berhenti, sehingga Adnan yang berada di belakangnya menabrak dirinya pelan. "Kenapa?"

Ara benar - benar membeku, tak bergerak sedikitpun. Wajahnya menampakkan banyak ekspresi, seperti ekspresi kaget, takut, marah, dan sedih dikumpulkan menjadi satu.

"Ra," Adnan menepuk pundak Ara yang akhirnya menyadarkan gadis itu, ia menoleh menatap Adnan. "Lo kenapa?"

"Hah? Ga.. gak papa." Ara menjawab dengan gugup. Nampak seperti.. ah, tidak tau.

Mereka berjalan mendekati segerombolan manusia yang sepantaran mereka. Nampak di sana sudah banyak orang yang berbincang ria. Adnan dan Ara mendekati Doni.

"Doni!" Sapa Adnan.

"Eh, udah datang lo? Sama siapa?" Tanya Doni yang langsung menepuk pundak Adnan.

"Nih." Adnan mengarahkan bola matanya pada Ara yang berada tepat di sampingnya.

"Eh, Ra, apa kabar lo?" Tanya Doni yang baru menyadari kehadiran Ara.

"Hehe.. baik kok, Don. Lo gimana?" Tanya Ara balik.

Tatapan Ara selalu teralih ke arah lain, seperti sedang memperhatikan sesuatu. Adnan yang sedari tadi memperhatikannya mendapati Ara sedang memperhatikan 3 gerombolan gadis yang.. begitulah. Namun ketika salah seorang dari mereka menatap balik, Ara membuang pandangannya.

"Jadi gimana lo sama si Ira?" Tanya Ara setelah membuang pandanganya dari objek yang tadi ia pandangi.

"Eh Ara? Lo dateng?" Seorang gadis muncul, gadis yang sedari tadi ia perhatikan. Nampak fashionable dan sepertinya personal yang percaya diri.

Gadis itu mencoba merangkul Ara, namun ditangkal. "Gak pernah lebih baik dari sebelumnya. Hehehe.." Ara membuat kalimat itu terdengar biasa saja karena tawa dan senyumnya. Namun Adnan bisa melihat itu, melihat kesedihan, amarah, dan rasa takut yang ada di mata Ara.

Bersambung

StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang