Chapter 5 - Luka Lebam dan Luka hati

122K 3.2K 70
                                    

Langit-langit kamarku adalah hal pertama yang kulihat saat aku membuka mata. Saat berusaha memosisikan diriku untuk duduk, rasa sakit yang kurasakan membawaku kembali pada ingatan akan pukulan-pukulan dari si Baron brengsek itu. Perlahan sekujur tubuhku terasa perih.

Dengan sekuat tenaga, aku menopang tubuhku agar dapat berdiri dan berjalan menuju cermin usang ada di ujung kamarku.

Dugaanku benar, keadaan wajahku sama mengerikannya seperti rasa sakit yang kurasakan. Sisi mata kananku biru membengkak sama halnya dengan sudut bibirku. Warna merah yang mulai membiru juga menghiasi pipiku.

"Jangan bangun dulu, Yu.." terdengar suara Ibu yang kemudian diikuti dengan pelukan lembutnya di bahuku.

Ia memapahku untuk kembali ke tempat tidur.

"Tahan ya, Nak... nanti juga sembuh. Maafin ayahmu... dia nggak sengaja..." suaranya terdengar parau.

"Bu...aku mau tidur....tolong tinggalin aku sendiri."

"Ayu, Ibu tahu kamu marah.. tapi..."

"Kumohon, Bu. Aku cuman mau tidur..." ucapku lagi.

Sekilas kulihat ia mengganguk. Kurasakan tangannya kembali mengusap dahiku sebelum kudengar ia menutup pintu kamarku.

Kenyataan kalau ibuku masih membelanya setelah apa yang ia lakukan kepadaku membuatku merasa jauh lebih sakit dibandingkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka-luka yang ada. Apakah aku memang harus menerima kenyataan kalau tidak ada lagi orang yang perduli dengan apa yang terjadi pada diriku.

***

Sepuluh hari setelah kejadian itu, lebam yang ada di wajahku sudah mulai menghilang meski samar-samar masih terlihat jika diperhatikan dengan seksama.

Luka-luka lainnya yang ada di tubuhku hanya menyisakan bercak biru yang akan segera menghilang. Dengan sedikit pulasan bedak, semua luka membiru itu dapat kusembunyikan.

Aku mengenakan celana dan kaus lengan panjang untuk menutupi bekas pukulan di tubuhku. Pada bagian wajah, aku juga menambahkan masker untuk menghindari tatapan orang saat aku berkuliah dan berkerja paruh waktu di sebuah toko roti. 

Semenjak kejadian itu, aku belum mengunjungi apartemen 1109 karena tidak mungkin aku dapat menyembunyikan semua luka di hadapan pria itu.

Sudah kuputuskan malam ini aku kembali ke sana.

Ada perjanjian yang harus selalu kutepati. Selain itu, aku tahu tidak pantas semestinya aku mengatakan hal ini, ada perasaan rindu yang tidak bisa kupungkiri akan tempat itu dan mungkin pria itu.

Beberapa sisa roti penjualan hari ini kumasukkan ke dalam tas untuk kubawa pulang dan sisanya kumasukkan ke dalam kotak kue untuk kuberikan padanya.

Kotak itu kuletakkan di atas pantry tempat ia biasa meletakkan makanan. Aku benar-benar merindukan ruangan ini. Semuanya tampak sama dan samar-sama aku dapat mencium aroma cologne yang ia gunakan. Perasaan nyaman itu kembali. Aku merasa telah kembali ke tempat dimana semestinya aku berada.

Mulai terdengar suara detector kunci berfungsi diikuti dengan suara gangang pintu yang dibuka.

Haruskah aku memasang senyuman? Akankah terlihat aneh?

Suara tawanya yang diikuti tawa seorang wanita membuatku menghentikan niatanku.

Ia terlihat sama kagetnya mendapati diriku yang berdiri mematung di ruang tengah apartemen miliknya. Wanita yang bersamanya masih bergelayut manja setengah memeluknya sampai ia juga menyadari keberadaanku.

Wanita dengan riasan tebal dan pakaian minim itu memandangku dari ujung kepala sampai ujung kaki sebelum akhirnya kembali memandang ke arahnya.

"Dia siapa? Pembantu kamu?"

Sleep With Me Tonight [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang