Chapter 4 - Mimpi Buruk Di Dunia Nyata

128K 2.6K 31
                                    

Dikarenakan hujan yang tidak kunjung berhenti, aku berakhir bermalam di sana. Meskipun pada nyatanya malam ini kuhabiskan untuk memandangi langit-langit dari sofa tempatku berbaring sembari berusaha menenangkan jantungku.

Ini pertama kalinya aku merasa diperlakukan layaknya seorang yang patut diperhatikan. Ia ternyata tidak seburuk yang kubayangkan. Berbagai kemungkinan mulai menghinggapi pikiranku. Aku bahkan mulai memperhatikan wajahnya yang tengah terlelap dari kejauhan.

Saat jam menunjukkan jam empat pagi, aku yakin sekarang adalah waktu paling tepat untuk meninggalkan apartemen ini. Kembali kuganti pakaianku yang sudah mengering dan kemudian aku berusaha meninggalkan tempat itu tanpa suara.

**

Saat sampai di rumah, yang kutemukan adalah pintu rumah yang terbuka lebar. Aku segera bergegas menuju ke dalam dan yang kutakutkan ternyata benar sudah terjadi. Semua isi rumah berantakan seolah baru saja dimasuki kawanan perampok. Aku sudah tahu pasti siapa penyebab semua kekacauan ini.

Bergegas menuju kamar, aku menemukan ibu yang sedang duduk sambil menangis di tepi tempat tidur. Pakaian yang dikenakannya terlihat berantakan. Jelas, hanya si bejat itu yang sudah pasti tega melakukan semua ini.

"Ibu... Ayu di sini, Ibu.." ucapku sambil meraih kedua tangannya.

Ia sempat kaget dengan kehadiranku. Dengan tergesa-gesa, ia berusaha menghapus air mata pada wajahnya.

"Si Brengsek itu datang lagi, Bu?"

Wajahnya yang semula sendu menunjukkan ketidaksukaan atas pertanyaanku.

"Jangan begitu Yu.. Bagaimana pun dia...."

"Dan Ibu masih saja membela dia! Ibu, nggak lihat apa yang udah dia lakukan ke kita, Bu?"

Kali ini ia memalingkan wajahnya dariku, kembali berusaha menghentikan air matanya yang kembali mengalir.

"Hidup kita awalnya baik-baik saja tanpa dia, Bu. Tapi sekarang semuanya jadi berantakan..."

"Ayu, bagaimanapun ia tetap suami Ibu," ucapnya setengah berteriak.

Brengsek.

"Dia berusaha menjual aku, Bu...." aku sendiri bisa mendengar getaran suaraku saat menyebutkan fakta menyedihkan itu.

"Dia bilang waktu itu dia mabuk... dan nggak berniat melakukan itu...lagipula dia kan sudah minta maaf," ucap ibuku.

Apakah baginya kata maaf sudah cukup untuk menebus semuanya?

Andai Ibuku tahu kalau nyatanya usaha si Brengsek itu berhasil akankah Ibuku meninggalkannya? Mungkin tidak.

Baginya, statusnya sebagai istri si brengsek itu adalah segalanya. Ibuku adalah bukti nyata kalau cinta membuat orang buta. Hal ini yang selalu mengingatkanku kalau cinta hanya membuat wanita lemah dan menjadi bodoh.

Tersadar akan sesuatu, aku bergegas menuju kamarku dan menemukan lemari pakaian yang isinya sudah berantakan. Hal yang kutakutan kembali terjadi. Si brengsek itu berhasil menemukan tempat dimana aku menyembunyi semua tabunganku. Dia berhasil mengambil seluruh uang yang akan kugunakan untuk biaya kuliah dan pengobatan ibu.

Ibu ternyata juga menyadari apa yang telah diambil oleh si brengsek itu. Ia berdiri termanggu di ambang pintu kamarku sembari meremas daster yang tengah ia kenakan dengan cemas.

Aku tidak bisa membiarkan si brengsek lolos begitu saja. Tidak untuk kesekian kalinya dan tidak untuk kali ini.

"Ayu... mau kemana kamu... biar saja ayahmu...dia sedang mabuk," ucap ibu sambil berusaha menghentikan langkahku.

"Dia bukan ayahku, Bu dan tidak akan pernah kuanggap ayah sekalipun sebatas ayah tiri,"

***

Aku menemukannya. Ia sedang tertawa terlihat asik dengan permainan kartu yang sedang diikutinya. Dari awal aku sudah yakin, ia pasti berada di gang tempat para pemabuk dan penjudi ini berkumpul. Tanpa ragu kuhampiri dirinya dan langsung mengambil uang di hadapannya yang kuyakini adalah uang hasil jerih payahku

Sial. Aku kurang cepat dan ia berhasil menahan tanganku mencegah niatan awalku untuk segera pergi dari tempat itu. Teman-teman sepermainannya mulai membubarkan diri seolah tau akan ada tontonan yang menarik setelah ini.

"Mau kamu bawa kemana uangnya anak nakal?"

"Ini uangku"

Ia tertawa kemudian kurasakan cengkramannya pada lenganku semakin menguat membuatku melepaskan lembaran-lembaran uang yang mulai berjatuhan kemudian kembali berpindah ke tangannya.

"Minta saja uang ke pria yang membelimu waktu itu. Ini seharusnya menjadi bagianku. Kamu sudah mengerti bagaimana cara cepat menghasilkan uang dengan tubuhmu kan?" ucapnya sambil tertawa sinis.

Menjijikkan. Mendengar perkataannya, aku reflek meludahinya.

Terdengar tawa kerumunan orang yang tengah menonton pertengkaran kami. Tawa di wajahnya hilang berganti dengan kekesalan yang siap meledak.

"Berani-beraninya, kamu!"

Genggamannya di pergelangan tanganku terasa semakin kuat mulai membuatku mau tidak mau mengerang kesakitan. Masih dengan tatapannya yang penuh amarah, sebuah pukulan dilayangkannya ke wajahku.

Meski berusaha melawan, aku harus menerima kenyataan kalau aku kalah telak karena pukulannya.

Belum sempat membalas, pukulan bertubi-tubi tanpa henti mulai dilayangkannya pada wajahku disertai berbagai umpatan. Aku jatuh tersungkur dan kembali merasakan beberapa tendangannya pada bagian perut dan punggungku.

Samar-samar pandanganku menjadi kabur sampai akhirnya semuanya berubah gelap total.

***

bersambung

Sleep With Me Tonight [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang