AIR MATAMU DAN LUKAKU

3 0 0
                                    

Cepat. Cepat. Cepat.

Tanpa mementingkan apapun lagi, aku memacu langkah turun dari tangga kosan. 

"Mbak..." suara ibu kos mengentikan pacuan langkahku. Aku diam sejenak, mencoba memutar otak mengenai kesalahan yang mungkin aku lakukan dalam waktu dekat ini.

Jemuran udah aku angkat. Paketan sudah aku ambil. Uang Wifi udah aku bayar. Ah... uang listrik belum. Aku tersentak sendiri dalam pikiran.

"Y-ya bu?" takut-takut aku membalas panggilan beliau.

"Mbak, itu tadi mbak Yuni nangis di bawah. Tadi ibu tanyain katanya berantem sama pacarnya. Coba mbak ditengokin, siapa tahu kalau sama temen dia lebih terbuka"

Deg! Mikir apa aku ini?!

"I-Iya buk. Saya coba ke bawah" seruku sembari melanjutkan langkah. Turun ke lantai bawah dan mendapati kesepian disana. Masing-masing dari penghuninya entah kemana disaat begini.

Aku ketuk pintu kamar Yuni, semakin pelan di setiap ketukannya. Kediaman yang terdengar di beberapa ketukan awal akhirnya berubah jadi sahutan lirih dari dalam.

"Siapa?"

"Vio" jawabku takut-takut.

Yuni membuka sedikit pintu kamarnya. Menampakkan separuh dari wajahnya di ambang pintu.

AKu tersenyum getir. Tidak tahu harus berbuat apa.

"Kenapa?" kataku pada akhirnya. Sepelan mungkin.

Yuni diam sejenak sebelum akhirnya meneteskan air mata. Deras sekali. 

"Ayo masuk dulu. Duduk dulu" seruku, namun ia bersikeras menolaknya. Dengan banyak-banyak bujukan yang aku ajukan, akhirnya Yuni keluar dari kamarnya.

Kami duduk di atas keramik dingin. Tidak ada yang aku lakukan selain mendengarnya menangis hingga sesegukan.

Rasanya tidak pantas untukku menanyakan 'kenapa' atau 'ada apa' dan lebih parahnya 'kamu bisa cerita ke aku'

Aku hanya diam disana.

Tidak, tidak benar-benar diam sebenarnya.

Aku mengamati kedua tanganku diam-diam. Mereka bergetar hebat.

Apa aku belum sembuh dari trauma atau aku gemetaran karena lapar? Arghh....

Apapun itu, sialan memang.


*******

Flashback

*******

"Brak" pintu depan rumah dibuka paksa. Aku berhamburan keluar dan mendapati sosok kecil itu berlinang air mata, jalannya juga tak lagi teratur.

Dia Saka, anak yang diasuh oleh ibuku mulai beberapa bulan yang lalu.

"Kenapa Ka? Kenapa?" aku bersimpuh, menatapnya dalam-dalam dengan ketakutan luar biasa.

"Mbak Vio. Mbak Vio. Tolong. Tolongin Saka. Tolongin Bunda" suaranya hampir tidak terdengar jelas di balik air mata deras itu.

"Kenapa? Saka kenapa? Bunda kenapa?" aku panik.

"Ayah sama bunda berantem. Tolongin bunda Mbak..." gadis itu hampir roboh namun kupegang erat bahunya.

"Sini masuk dulu" aku bimbing dia masuk ruang tengah. Berdua kami duduk disana. Aku merangkulnya kuat-kuat. Pasti hancur berantakan ia, batinku.

Aku merangkulnya kuat, namun ternyata aku tidak cukup kuat untuk itu. Badanku bergetar hebat.

Ibu menghampiri dari belakang.

"Kenapa Ka?" tanya beliau.

"Ayah sama bunda berantem budhe" tangis Saka pecah lebih keras.

Aku beranjak dari dudukku, membiarkan ibu mengambil alih moment sensitif ini. 

Pelan-pelan aku masuk kamar, namun belum juga sampai aku ambruk ke lantai. Air mata turun deras dari kedua mataku tanpa aku tahu apa alasannya.

Batinku koyak.

Aku menggiggil hebat, tubuhku lemas luar biasa, dan air mata ini....

Mereka tidak mau berhenti.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"Mbak..." ibu memanggil pelan. 

"Mbak...." lambat laun suara beliau semakin panik.

"Mbak...." 

Akhirnya ibu menghampiri.

*******


Kelas berakhir beberapa waktu yang lalu. Dan di bawah panas ini aku menyempatkan kaki melangkah ke toko terdekat, membeli minuman dingin dan beberapa makanan.

Aku mengeraskan lagu yang mengalun melalui headset-ku. Menghilang dari hiruk-pikuk dunia.

Pelan aku masuk ke dalam kos bawah. Menggantungkan belanjaan yang tadi aku beli di depan kamar Yuni.

Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Ah... Mungkin aku juga bukan teman yang baik karena tidak menanyakan keadaannya sedari awal. 

Aku buruk memang. Dengan pemikiran bahwa 'aku tidak akan memaksa seseorang untuk menceritakan kisahnya padaku' mungkin itu juga tidak benar.

Aku naik tangga dengan gontai. Teringat selembar kertas yang ikut aku gantung di depan kamarnya.

"Tetap kuat ya. Kamu tidak sendiri, ada kami disini"

Aku tersenyum getir. 

Ah, gila....

Aku menuliskan sesuatu yang sebenarnya ingin aku dengar dari mereka.

Miris sekali.

Namanya Juga KenanganWhere stories live. Discover now