KENANGAN UYUT

6 1 0
                                    

Langkahku gontai. Suara jangkrik-jangkrik bergelayutan di atas pohon, berdenging bersama iringan angin yang berhebus sepoi.

Hidup ini tak pernah menjadi lebih mudah.

Aku menghela nafas dalam diam. Benci mengakui kelelahan yang tiada henti menggerogoti sisi 'menyenangkan' dalam setiap hari-hariku.

Aku berhenti sejenak. Mendongak, menatap gumpalan tajuk pohon dengan warna kebiruan langit yang megintip diantaranya. Dengan pelan aku membenarkan letak headset di telingaku, menarik nafas dalam sekali, lalu kembali melangkah lagi.

Ini hidup. Takkan berhenti sampai kau benar-benar hilang jiwa.


*******

Flashback

*******

Gubrakkk!!

Aku berhamburan, melesat masuk ke kamar dan mendapati uyut (simbah buyut) sudah tergeletak di atas keramik, meluncur keras dari atas kasur.

"Yut, nggakpapa?" aku menitahnya naik kembali ke atas kasur.

Uyut diam dalam lemah tubuhnya. 

Baru kemarin kami masih bercengkrama mengenai Jepang dan penjajahannya, duduk harmonis di atas lincak (bangku bambu). Sekarang, beliau sudah berbaring tiada daya di atas kasur.

Aku mengambilkan segelas air putih dan meletakkannya di samping ranjang.

"Vie, udah lulus ya?" uyut bicara dengan nada bergetar.

"Tinggal pengumuman ujian yut" sahutku, menampakkan dengan nyata kesedihan. Biasanya tidak begini kami bercengkrama.

"Besok kamu kuliah ya..." uyut angkat biacara lagi. Entah sebuah pertanyaan, atau pernyataan, yang beliau lontarkan itu.

"Aamiin" jawabku singkat.

Aku membenarkan selimut beliau.

"Besok kuliah di UGM ya Vie" samar-samar aku uyut bergumam, entah doa padaku, entah ia meyakinkan diri sendiri. Aku tidak tahu.

Aku diam. Pura-pura tidak mendengarnya.

Pelan uyut memejamkan matanya, lelah mungkin. Namun dalam lelapan itu, beliau kembali bersuara.

"Besok Vie kuliah di UGM ya" kata beliau.

Aku tercekat. Diam memandangi beliau yang tersenyum sedih. 

Apa bisa Yut? Batinku.

********

Aku mengambil nafas pelan, menaiki tangga, seolah mendapat dorongan lebih, aku melangkah lurus ke ruang kelas pagi itu.

Yut, aku sudah disini sekarang. Sama persis seperti yang Uyut bilang sebelum meninggalkan kami malam itu.

Yut, aku disini. Aku harap Uyut bisa melihatku entah darimanapun itu. 

Yut...

Terima kasih atas percakapan kita mengenai Jepang, tentang masa lalu Uyut, tentang silsilah keluarga kita. Terima kasih sudah mengajariku menggambar rumah bambu dengan kursi kecil di halamannya.

Yut, mungkin kita tidak banyak menghabiskan waktu sebagai nenek-dan-cucu, tidak sebanyak waktu uyut dengan cucu kesayangan uyut itu. Tapi pada akhirnya, kita bisa saling bertukar cerita di atas lincak, dibawah terang bulan, dengan angin sepoi yang menerbangkan helaian-helaian rambut putih bercampur hitam milik belliau.

Yut....

Terima kasih.

Aku tersenyum sembari mengusap air di ujung mata. Menatap dengan lebih jelas, melangkah dengan lebih mantap.


Namanya Juga KenanganOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz