Second Home

407 53 9
                                    

Chapter 3

"Bagi kaum yang hidup sejahtera karena keluarga rumah adalah Surga, namun bagi gue rumah adalah Neraka buatan."

-Mikayla Dinata

***

 
 

  Baru selangkah Mika menginjakkan kaki di rumah megah ini rasanya ia ingin segera keluar. Dari luar saja auranya sudah terlihat tak begitu bersahabat sama sekali.

"Kamar kamu ada diatas yang pintunya warna putih," ucap Mamanya yang hanya ia jawab dengan anggukan dan segera berlalu pergi.

Saat ia akan menaiki tangga, tiba-tiba kakinya dipeluk gadis kecil yang berusia sekitar 5 tahunan. "Yeyyyy!! Kakak Mika pulang," ucap bocah kecil itu dengan girang.

Mika hanya tersenyum tipis dan jongkok didepannya. Meskipun Luna hanya adik tirinya dan juga sangat jarang ia temui, namun masih ada rasa sayang dihatinya.

"Halo Luna ..." sapanya seadanya, karena ia sendiri bingung harus mengucapkan kata seperti apa untuk gadis kecil didepannya itu.

"Halo juga kak Mika, kak nanti kita main ya!" ucapnya dengan semangat.

Mika hanya tersenyum dan kembali berdiri, "Luna main sendiri dulu ya, kakak mau istirahat." Setelah itu Mika segera beranjak meninggalkan Luna dan segera segera menuju kamarnya.

Saat ia membuka kamar barunya, ia terkejut melihat nuansa baby blue dipadu dengan warna putih memenuhi isi ruangan itu. Dari jaman dulu ia sangat membenci warna-warna terang dan mencolok, ia lebih suka warna gelap dan hitam karena warna terang hanya akan membuat matanya sakit.

Untuk saat ini Mika tak memperdulikan dulu, yang ia butuhkan hanya istirahat. Besok ia akan merubah warna dan pernak-pernik kamar ini seperti kamarnya dulu.

***

      Malam pun tiba, jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Sedangkan Mika sedari tadi hanya duduk terdiam di meja belajarnya yang berhadapan langsung ke jendela besar. Yang ia lakukan hanya menatap jendela itu sambil menghitung titik-titik air hujan yang menempel disana.

Sangat bukan seperti dirinya. Dulu, ia sangat mengharamkan terus berada dikamar selain hanya untuk tidur. Setiap ada waktu luang harus ia gunakan untuk kelayapan kesana kemari bersama teman-temannya, tak peduli panas dan tak peduli hujan yang ia kejar hanyalah kebahagiaan yang tak ia dapat dari rumah dan dari siapa pun kecuali sahabatnya.

Ia mendesah kesal saat mulai bosan, ia mengambil ponselnya dan mencari-cari kontak teman-temannya yang berada di Jakarta. Namun nihil, tak ada satupun orang yang bisa ia ajak untuk hangout.

Meski dirinya bukan asli Jakarta, namun teman-temannya yang ada di Jakarta juga cukup banyak. Bukan hanya di Jakarta melainkan berbagai kota sekitarnya pun ada, karena pergaulannya cukup luas.

Tak kuat dengan situasi seperti ini, akhirnya Mika beranjak dari tempatnya dan mencari jumper nya untuk menutupi tubuh bagian atasnya yang tadinya hanya dibalut kaos oblong kebesaran.

Tanpa menyisir rambut atau bedakan, ia langsung mengambil kunci mobilnya dan segera keluar dari kamar. Tak peduli dengan celana pendek seperempat diatas lutut dan penampilannya yang jauh dari kata rapi, ia segera melenggang keluar menggunakan Mini Cooper biru kesayangan nya.

Ia hanya berputar-putar saja di tengah hujan gerimis yang mengguyur ibu kota, ia juga tak tau akan tujuannya hari ini. Club bukan pilihan yang pas untuk saat ini karena ia hanya sendirian.

CANDRAMAWAWhere stories live. Discover now