Satu Titik Dua

28 3 0
                                    

CALEB berusaha berdiri tegak. Bagaimana pun dia kepala keluarga. Tidak ada yang perlu disembunyikan bahwa dia terluka. Hatinya hancur dalam beberapa detik setelah teriakan Tasha pagi itu. Rasanya dia baru saja membereskan pernak-pernik bekas natal. Ia baru saja memegang penyedot debu setelah menyingkap karpet tebal yang digunakan anak-anak bermain dari sore hingga malam. Baru saja ia meminta Claire, istrinya, untuk membersihkan kue-kue yang berserakan menjadi kepingan kecil karena dimainkan oleh keponakan mereka yang masih kecil.

"Tasha, bisakah kau berdiri sebentar?" ia meminta Tasha yang sudah terbangun, sedang memainkan boneka Barbie-nya, untuk beranjak. Ia hendak membersihkan sofa.

"Sayang, bisakah kau bangunkan kakakmu? Kita akan menikmati pancake pertama di tahun yang baru," Claire menambahi, membuat Tasha mencebik.

"Aku membersihkan sofa," sahut gadis itu enggan. Caleb tertawa. Mana mungkin ibunya tertipu, sudah jelas Tasha tak pernah turun tangan untuk pekerjaan rumah. Sudah bagus kalau dia tidak merusuhi.

Claire menoleh, mengerling pada Caleb sebelum berkata, "Kemarin Lili bilang punya hadiah natal untukmu. Dia belum memberikannya, kan?"

Tasha menelengkan kepala. "Mom tidak bohong?"

"Aku tidak mau kehilangan berkah natal dengan melakukannya, Sayang."

Segera setelah kata terakhir Claire terucap, Tasha berjingkat dari tempatnya duduk menuju anak tangga. Kakinya berkejaran sampai tiba di muka pintu kamar Lili yang tepat berada di depan tangga.

Saat itulah, ingatan Caleb tak ingin mengulangi apa pun. Seperti ada dentuman yang meledak dalam kepalanya. Teriakan Tasha di ambang pintu. Pancake yang terlupakan. Kaki yang berlarian panik. Semuanya berantakan seketika. Rancangan untuk hari itu bubar sudah.

Claire masih berusaha menahan tangisnya. Hidungnya merah, namun ia harus tahan hasrat ingin terisak. Ini keputusan bersama. Caleb mencengkeram erat-erat tangan istrinya. Tasha masih berjongkok di sebelahnya, menggurat keramik dengan jemari. Di sudut lain, matanya beradu tatap dengan retina milik Steve. Lelaki itu satu-satunya orang luar yang tahu.

"Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin?" saudara-saudara Claire merubung. Kakak-kakak Caleb menepuk pundaknya simpati. Semuanya menanyakan hal yang sama. Kalau tidak diumbar keras-keras, pasti dibisikkan antar sesama.

"Kami menyembunyikan penyakitnya selama ini," ujar Caleb setelah berdeham beberapa kali. Ia memastikan wajahnya benar-benar tegas.

Lautan berbaju hitam itu terdiam sejenak. Beberapa hanya terus diam sambil berusaha menguatkan Claire yang tampak lebih rapuh ketimbang Caleb.

"Kukira dia sangat sehat," itu suara Nanny yang berasal dari balik bahu Caleb. Lelaki itu menoleh, menemukan mata skeptis milik ibu Claire. Ia tahu wanita itu punya firasat yang kerap kali benar. Menghadapinya, mau tak mau ia menelan ludah.

"Lili meminta kami menutupinya sebisa mungkin. Dia ingin tampak sehat."

Nanny masih mengerutkan keningnya sekilas. Apa pun yang hendak terlontar dari mulutnya terbungkam oleh pertanyaan dari salah satu keponakan Caleb, Michelle.

"Lili sakit apa?"

Caleb menatapnya lama. Usia Michelle dua tahun di bawah Lili, tapi ia tahu mereka cukup akrab. Lili terbiasa mengasuh sepupu atau keponakannya ketika mereka berkunjung. Pada beberapa dari mereka, Lili bisa dekat.

"Tumor otak," sahut Caleb. Dia menunduk. Dalam hati dirapalnya permohonan maaf pada putrinya di alam sana.

Michelle bungkam. Diam-diam ia menyusut air mata di sudut matanya, lantas kembali mendongak untuk berkata, "Aku minta maaf, Paman." Setelahnya ia mundur.

Rumah duka itu pun mulai penuh. Kebaktian hendak dimulai.

The Letters You Left BehindWhere stories live. Discover now