1: Satu Titik Satu

87 10 4
                                    

LELAKI itu terperanjat ketika bangun. Matanya buru-buru mencari jam dinding, bernapas lega ketika jarum-jarumnya menunjukkan waktu masih pukul enam pagi. Dia belum terlambat. Sekeliling ruangannya dingin karena AC, namun ia yakin di luar sana sudah cukup hangat mengingat ini masih termasuk awal musim panas. Orang-orang tentu masih tertidur setelah malam tahun baru yang panjang, jadi ia yakin jalanan masih lengang. Sambil mengendap keluar kamar, khawatir kenop pintu menimbulkan deritan tak terduga, dia mengetikkan pesan.

Lili, boleh ke rumahmu sekarang?

Beberapa saat menunggu, tidak ada tanda pesan itu dibaca oleh si penerima. Steve pun memutuskan membuka pagar dan berjalan sendirian menuju rumah yang berdiri tepat setelah belokan pertama. Setibanya di sana, ia berdiri di depan pintu. Tangannya mengambang di udara ketika hendak mengetuk, sebab dari dalam terdengar teriakan. Samar-samar, ia juga menangkap tangisan.

Kotak hadiah yang ia pegang di belakang tubuhnya terayun-ayun gelisah. Sepertinya ada yang terjadi di dalam, haruskah ia masuk? Tatkala masih sibuk berargumen dengan dirinya sendiri, pintu itu terbuka. Di sana, sosok Tuan Hemming berdiri mematung. Wajahnya tidak pernah sekaku ini sebelumnya. Dia mungkin tidak pernah bicara banyak dengan Steve, tapi dia bisa dibilang cukup ramah setiap kali ia bertandang. Apakah kehadirannya terlalu mengejutkan?

"Eh, maaf, Paman," Steve berubah gugup, "bolehkah aku—"

"Pulanglah." Kalimatnya disambar begitu saja.

Dari dalam, tangisan itu masih terdengar. Steve menyipitkan sudut matanya, berusaha menggeser fokus pada apa yang terlihat di balik punggung Tuan Hemming.

"Tapi, aku belum bertemu Lili."

Rahang Tuan Hemming justru semakin mengeras. Tidak pernah Steve lihat dia menggertakkan gigi di balik mulutnya sekuat itu sampai menciptakan gestur yang terbilang menakutkan. Dia bukan tipe orang yang banyak tersenyum, tapi guratnya tidak pernah seserius itu.

"Daddy, apa yang kaulakukan di sana? Lili sudah tidak bernapas!"

Deg.

Jantung Steve seperti direnggut dari tempatnya. Keterkejutan itu bersamaan dengan embusan napas panjang Tuan Hemming. Lelaki paruh baya itu memejamkan matanya sejemang, kemudian memutuskan menarik lengan Steve untuk masuk. Ia menutup pintu dan menguncinya. Di sana, Steve bisa mendongak dan melihat gadis kecil berdiri di pinggir tangga menatap gelisah pada punggung Tuan Hemming. Itu adik Lili.

"Kau harus berjanji padaku," lagi-lagi mengeraskan rahang, "jangan katakan apa pun yang kau lihat pagi ini pada siapa pun. Kalau kau mengaku teman Lili, kalau kau sayang pada Lili—"
"Aku janji." Steve menatap ke dalam bola mata sewarna mutiara hitam milik Tuan Hemming. Tidak pernah sebelumnya mata itu terlihat begitu nanar di depannya. Tegas tak dapat dibantah.

"Kau akan tahu akibatnya kalau kau melanggar itu."

Setelahnya, Tuan Hemming memintanya mengekor. Ia tahu lantai atas adalah kamar gadis Hemming, yang tertua adalah Lili—kawan yang sedang Steve cari. Kotak kado di tangan Steve berguncang seirama mengikuti langkah buru-burunya menuju pintu kamar.

Yang Steve lihat di sana hanya kekacauan. Dari ambang pintu, ia tahu bahwa suara tangisan itu dari Nyonya Hemming. Wanita itu berusaha meredam suaranya dengan membekap mulutnya, namun tetes air matanya tak mampu ditahan.

Steve tidak memerhatikannya lebih lanjut. Ia tidak mengalihkan fokus pada Tuan Hemming yang kebingungan mencari sesuatu atau adik Lili yang berjongkok sambil menoleh ke kanan dan kiri, menatap ibu dan ayahnya, kemudian mengalihkan tatap pada Steve. Yang ia lihat adalah sesosok tubuh yang terkulai di atas lantai. Diam. Tenang. Tidak terusik bahkan oleh suara tangisan.

"Lili," panggilnya, tidak yakin apa suaranya terdengar atau hanya serupa bisikan bias.

Nyonya Hemming menggigit bibir dalamnya.

Steve mendekat.

Bola mata cokelatnya menelusuri tubuh yang tergolek tanpa daya itu. Mata gadis itu tertutup. Tangannya terkulai ke kanan. Saat Steve menyentuh pipinya, yang terasa hanya beku. Yang paling buruk adalah ketika ia melihat sudut bibir gadis itu. Cairan bening nyaris putih mengalir turun dari sana. Matanya tidak salah.

"Honey, jangan coba-coba telepon polisi. Atau rumah sakit." Suara Nyonya Hemming tercekat oleh deru napasnya sendiri. Ia berdiri tergopoh-gopoh ketika sang suami telah mengeluarkan ponsel.

"Claire, kita harus membuat diagnosis untuk sebab kematiannya. Kita harus bilang apa di upacara kebaktian kalau tidak—"

"Bilang saja dia sakit."

"Tidak bisa semudah itu. Kau ingat, baru kemarin keluargamu datang ke rumah dan dia sangat sehat untuk menemani keponakannya."

"Kita bisa bilang kalau dia menyembunyikan penyakitnya. Dia tergolong pendiam meski tidak anti-sosial. Mereka akan percaya, Caleb."

"Claire."

"Kumohon. Aku tidak sanggup. Anakku. Anakku yang berharga. Liliku ...." suaranya pecah menjadi tangisan lagi.

Tuan Hemming sudah berpindah untuk memeluk wanita tersebut. "Pikirkan itu nanti. Kita harus memindahkan Lili."

Ia melirik pada Steve yang masih menggenggam tangan dingin Lili. Juga pada Tasha, gadis bungsu di keluarga mereka yang tengah berjongkok berusaha membersihkan kotoran di tepi bibir Lili.

"Daddy, Lili tidak akan terbangun, ya?" gadis sepuluh tahun itu mendongak kepadanya. Angka sepuluh bukan lagi angka milik anak-anak. Dia sudah bisa menonton telenovela. Dia tahu kondisi orang hidup dan mati. Dia tahu kalau denyut nadi seseorang suah tidak ada, tandanya jiwanya telah pergi.

Tapi, Tuan Hemming tetap tidak dapat menjawabnya.

Steve yang sedari tadi hanya diam, akhirnya mengambil alih Tasha. Gadis kecil itu berdiri mengikuti langkah Steve menuju lantai bawah. Rambut ikalnya ikut bergoyang seiring langkah mereka menuruni anak tangga.

Ketika telah sampai di sofa, Tasha duduk sambil menundukkan pandangan. Matanya yang biasanya ceria jadi lebih redup. Steve menyadari jarinya yang bergetar beberapa saat sebelum ia menutupinya dengan mengepalkan kedua tangan.

Ini begitu cepat. Steve tidak tahu apa yang terjadi atau apa yang harus ia katakan. Bermenit-menit setelahnya, ia memutuskan menarik Tasha dalam rengkuhan. Gadis itu mulanya ia kira hanya diam, namun bajunya terasa basah. Ia pun sadar kalau Tasha bukan hanya diam—dia menangis dalam keheningan.

"Semua akan baik-baik saja, Tasha. Jangan cemas."

Ia tahu, Tasha akan mencerna kata-katanya sebagai bualan. Namun Steve tak punya kata-kata lain selain bualan saat ini. Karena di dalam hatinya, ia juga berusaha membual. Bahwa pagi ini tidak pernah terjadi apa-apa. Lili hanya terjatuh dari tempat tidurnya. Dia hanya tertidur di lantai. Gadis itu tidak meminum apa-apa selain air putih sebelum tidur. Dia tidak—

Bualan itu terhenti ketika Steve sadar pipinya basah. Pertahanannya roboh. Dan ia tahu semuanya adalah realita. Bahwa Lili terkapar tak bernyawa pagi ini. Lili tidak akan kembali. Ini bukan mimpi. Rumah yang biasanya hangat itu terasa lebih dingin.

[to be continued]

The Letters You Left BehindWhere stories live. Discover now