Chapter 2

184 20 6
                                    

“Kau sudah bangun rupanya.” Kata ibuku saat aku masuk dapur.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 sore waktu New York. Ah, aku tidur cukup lama ternyata.

“Iya, mom. Aku mengantuk sekali tadi, maaf aku tidak membantumu memasak.” Sahutku.

Ibu tersenyum, “Tidak apa-apa. Um, tapi bisakah aku meminta tolong padamu?”

“Tentu saja. Katakanlah.”

“Terigu juga telur sudah tinggal sedikit dan aku memerlukannya untuk besok, aku akan membuat kue kesukaanmu dan ayah. Bisa tolong belikan di supermarket?” pinta ibuku.

Aku mengangguk, “Baiklah, aku berangkat sekarang kalau begitu, hari sudah mulai gelap.” Lalu aku beranjak ke kamarku untuk mengambil baju hangat.

Ambil uangnya di dompetku, Jaq.” Ibu sedikit berteriak dari dapur.

Setelah berpamitan pada ibu, aku mulai menyusuri jalan perumahanku. Sepi sekali disini, beda dengan di Afrika. Biasanya jam segini aku sedang berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan matahari terbenam.

10 menit berlalu dan aku belum juga menemukan supermarket dekat sini. Aku jadi menyesal karena memilih untuk berjalan kaki, padahal di garasi ada sepeda.

“Hey manis, sendirian saja?” tiba-tiba muncul 3 orang pria saat aku menyusuri jalan kecil di pinggiran kota.

Aku mencoba menghiraukan mereka yang terus menggodaku dan mendekatiku. Ya Tuhan, lindungi aku.

“Kau mau kemana? Kemarilah sebentar saja, ada minuman yang bisa kita nikmati.” Ucap salah satu dari mereka lagi.

Dapat kupastikan bahwa mereka adalah pengangguran yang hanya menghabiskan uang hasil curiannya untuk berjudi atau minum minuman keras. Aku benci sekali dengan orang-orang seperti itu.

Tak sadar, dua orang dari mereka sudah menarik tanganku. “Ayolah, jangan jual mahal!” ujar salah satunya.

Aku mencoba melepas genggaman kuat mereka namun hasilnya nihil. “Lepaskan aku, bodoh!” kataku terus mencoba melepas tanganku.

“Apa kau bilang?! Dasar gadis kurang ajar!”

Aku tersungkur ke jalan akibat pukulan dari salah satu diantara mereka yang tadi tidak ikut menarik tanganku. Pipiku memanas akibatnya.

“Lepaskan! Tolong!” aku berteriak mencari pertolongan namun aku yakin tidak akan ada satu orangpun yang akan menolongku melihat keadaan jalanan yang sangat sepi ini.

Seseorang tolonglah aku!

“Hei, lepaskan!” tiba-tiba kudengar suara seorang pria disusul dengan suara pukulan yang keras.

Dua orang yang masih menarikku akhirnya melepaskanku dan menghampiri satu orang lagi yang sedang tergeletak dijalan akibat pukulan tadi. Terjadilah adu hantam di hadapanku sekarang.

Aku menemukan satu tempat sampah lalu bersembunyi dibaliknya karena tidak kuat melihat aksi saling pukul antara berandal-berandal tadi dengan satu pria berjaket kulit yang kurasa sedang mencoba menyelamatkanku itu.

Ya Tuhan, mana mungkin dia bisa menang? 3 lawan 1, bayangkan saja!

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, dalam hatiku berdoa agar aku baik-baik saja. Ibu, aku ingin pulang, batinku.

“Hey, apa kau terluka?”

Aku membuka mataku dan menemukan pria berjaket kulit tadi dihadapanku, pelipisnya berdarah. Kemudian aku memeriksa keadaan sekitar, dapat kulihat ketiga berandal tadi sedang berlari menjauh dari sini.

BRAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang