Part One

248K 4.9K 108
                                    

[RE-POST]

Sebelum membaca cerita ini, dimohon dengan sangat untuk menghargai penulis.

DILARANG MENJIPLAK, MEMPERBANYAK, MENGUBAH, MAUPUN HAL LAINNYA YANG TERKAIT DENGAN ISI CERITA INI. BILA PENULIS MENGETAHUI ADA YANG MELAKUKANNYA, AKAN SEGERA DI TINDAK-LANJUTI SAAT ITU JUGA.

---

Tepuk tangan akan kebanggaan terhadap Dokter muda di hadapan mereka saat ini memenuhi ruangan meeting tersebut. Presentasi yang diucapkannya begitu lugas dan tegas, siapapun akan mengagumi dirinya.

Dokter Rahardian berdiri seraya menghampiri Dokter muda itu dengan senyuman mengembang. Mereka saling tertawa kecil dan menyalami seraya memberi selamat pada keduanya.

"Saya sangat bangga terhadap Anda, Dokter Panji," ucap Rahardian sambil menepuk bahu Panji yang sudah di anggapnya sebagai anak karena wawasan Dokter muda itu yang terbilang cukup tinggi.

Panji tersenyum, "Tanpa Anda, saya tentu bukan apa-apa, Dokter Rahardian," ujarnya merendah seraya memeluk hangat Rahardian yang telah dianggap sebagai Ayahnya.

Rahardian melepaskan pelukannya, "Oh astaga, aku suka dengan pujianmu itu. Tapi perlu kau ingat kembali, Panji. Dirimu hebat, bukanlah karena diriku, namun karena kemauan dirimu yang begitu tinggi," jelasnya seraya tertawa hangat. "Ah, aku pasti akan merindukanmu nanti, nak." Rahardian menepuk bahu Panji, lesu.

"Tidak akan, Ayah. Kau akan memiliki penggantiku nanti, dan seperti yang pernah kau ceritakan. Bukankah dia sangat hebat?" Panji tersenyum menghibur Rahardian. Ia memang sudah terbiasa memanggil Rahardian dengan sebutan Ayah saat pria itu tidak lagi memakai bahasa formal dan terlihat lebih santai. Sudah seperti keluarga sendiri bagi mereka masing-masing.

"Ya, ya. Memang, tapi apa kau tahu? Anak itu bahkan jarang sekali membalas pujian untukku saat aku bangga padanya, dia tidak sepertimu. Ah, kuharap darahku tidak naik perlahan." Rahardian dan Panji terkekeh geli.

"Aku yakin, kau sangat merindukannya, bukan?"

"Tentu saja! Dia anak yang hebat sepertimu, walaupun terkadang susah sekali diatur."

Tawa mereka berpadu, membuat para dokter yang berada seruangan dengan mereka ikut merasakan kehangatan yang terpancar diantaranya.

***

"Dokter Kariiiinnn!"

Suara cempreng itu menggema memenuhi koridor rumah sakit.

Dokter cantik yang merasa dirinya terpanggil, menoleh keasal suara dengan raut wajah terkejut.

"Astaga, Daisy! Jangan berteriak seperti itu. Ini rumah sakit." Ia menegur gadis itu dengan kesal, walaupun ucapannya terdengar begitu lembut. Ah, benar. Daisy sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri, ia tidak bisa membentak keras pada gadis berwajah innocent seperti itu.

Daisy menyengir lebar, membuat Karin mau tak mau ikut tersenyum, kedua alisnya pun kini tidak lagi bertaut.

"Maap, yah? Abisan sih Dokter Karin jalannya cepet banget. Udah tau kakiku ini nggak sepanjang itu, jadi yah mesti pelan-pelan," jelasnya menunjuk sepasang kaki jenjang Karin.

Karin tersenyum geli seraya merangkul Daisy, "Maka dari itu, kamu harus berenang."

Daisy memutar bola matanya, ia mendengus sebal. "Duh, kenapa sih ya, orang-orang selalu menyarankan berenang atau minum susu. Atau bahkan keduanya?! Jelas banget aku nggak suka dua-duanya! Yang satu, bikin repot. Yang satu lagi, bikin eneg. Hiiiyyy!" Daisy meringis, membuat Karin tergelak melihatnya.

Adore You, Doctor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang