9. Illusion

1.4K 98 69
                                    

/illusion/

penampilan yang menipu; kepercayaan palsu

.

.

.

"Nel, kamu mau mandi?" tanya suamiku yang bertelanjang dada duduk di tempat tidur, hanya dengan handuk mengitari pinggangnya.

Mendengar suaranya, aku buru-buru menyelipkan kartu nama Mario ke buku agendaku dan menyimpannya di laci meja. Lalu aku berbalik menghadap suamiku.

"Oh, iya," sahutku sambil menegakkan tubuhku.

"Atau kalau kamu mau satu ronde, lanjutin yang tadi, bilang saja," ungkap suamiku santai.

Aku tersenyum kecut namun menggeleng. "Udah capek, Sayang. Besok aja, ya?" bujukku. Jujur, hatiku sedang tidak niat berhubungan dengan Surya.

Suamiku mengangguk paham dan membiarkanku mengambil pakaian di lemari. Namun sebelum aku bergegas ke kamar mandi, ia menarikku dan memangkuku di atas pahanya yang masih dibungkus handuk. Lengannya melingkupi tubuhku. Aku dapat merasakan napasnya di leherku.

"Nel, aku bangga padamu," bisiknya. "Tadi aku sudah bicara dengan Pak Rudi dan Pak Triyatno, mereka akan memberikan perizinan untuk pembangunan kompleks apartemen di Sudirman. Mereka memberitahuku rencana masa depan untuk menjadikan Sudirman kawasan bisnis elit di Jakarta. Ini sangat menguntungkan bagi perusahaan kita, Nella."

Tiba-tiba tubuhku terasa dingin. Aku menarik diriku dari pangkuannya. "Jadi semua tadi hanya pura-pura? Akting supaya mendapatkan izin dari pemerintah?"

"Nel, apa-apaan, sih? Tentu saja tadi bukan pura-pura. Tapi kalau sekali mendayung dua pulau terlampaui, kenapa enggak? Lagipula aku melihat kamu lesu belakangan ini -- aku kira acara pernyataan cinta seperti tadi akan membuatmu senang."

Aku menghela napas. Kertas yang kutulis berisi perasaan frustrasiku tadi belum kubuang. Aku masih menyimpannya di agendaku. Namun aku terlalu lelah untuk berdebat dengan dia. Lagipula Surya sedang dalam perasaan baik, aku tidak ingin merusaknya.

"Aku senang, kok. Makasih, Sayang," ucapku sambil mencium pipinya. "Sekarang aku mandi dulu, ya?"

"Yakin nggak mau satu ronde dulu? Biasanya kamu sampai merayuku buat memintanya," ujar Surya dengan senyumannya yang bagiku setengah meledek.

Perasaanku semakin kacau. "Enggak."

"Tapi aku mau," tegas Surya sambil menjatuhkanku perlahan di atas tempat tidur. Tangannya piawai melepas kancing bajuku di atas dadaku, lalu bibirnya menciumi leherku. "Wangimu masih menyenangkan, Nella."

Aku hanya pasrah. Hatiku tidak menginginkan ini, namun aku bisa apa? Lama-lama, aku terbawa dalam permainannya -- Surya memang hebat memuaskanku, ia tahu gerakan dan posisi yang kusuka. Namun tidak lama. Aku menegaskan sekali lagi bahwa aku harus mandi, dan aku beranjak meninggalkannya.

Semoga ia menyadari sikap menjauh-ku dan bertanya kenapa. Jika ia tak bertanya, berarti ia tak peduli padaku -- buat apa aku repot-repot melampiaskan emosiku padanya? Melelahkan dan buang-buang tenaga.

***

Hari Minggu pagi, Surya mengajak kami berjalan-jalan dengan keluarga Londa, sebelum mereka kembali ke Manado sore harinya. Seharusnya aku bahagia, kan? Ini yang kuinginkan? Suamiku menghabiskan waktu luangnya dengan keluarga, apalagi dengan keluarga besarku yang terang-terangan memujanya sebagai suami idaman. Namun aku masih merasa hampa karena aku tahu ini hanyalah salah satu adegan pencitraannya di mata keluargaku.

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now