chapter 3 : Invasion

1.4K 22 3
                                    

R. Academy

©copyrighted by Cintimon026

Chapter 3 : Invasion

"Oke, aku akan pulang sekarang. Mungkin orangtuaku sudah menelepon."

"Nala?"

"Hm?"

"Kau takkan menanggapi surat itu, kan?"

"Hahaha, tentu saja tidak. Surat itu sepertinya cuma surat iseng, aku takkan percaya. Kau tenang saja, Mr. Dan."

Percakapanku dengan Mr. Dan setelah aku keluar dari tokonya terus-menerus terngiang di kepalaku. Terus-menerus membuatku ragu. Terus-menerus membuatku merasa bersalah pada Mr. Dan. Aku memang merasa bersalah pada orangtuaku, tapi kurasa mereka takkan begitu peduli padaku, yang mereka pedulikan cuma Rara.

Emosiku mulai datang lagi. Aku menarik napas, berusaha mengendalikan diri. Lupakan saja soal keluargaku, memangnya siapa yang peduli?

Dengan tersandung-sandung, akhirnya aku berhasil keluar dari dalam taksi. Aku mendongakkan kepalaku.

Bandara Soekarno-Hatta, pikirku. Sudah satu setengah tahun sejak aku terakhir berada di sini.

Letak bandara ini tidak berubah dari tempatnya enam puluh tujuh tahun lalu, hanya saja penampilannya dirombak ulang. Dari buku-buku yang kubaca, saat hari kehancuran dunia enam puluh tujuh tahun lalu, presiden berusaha membangun kembali Indonesia dari puing-puing yang tersisa. Bandara Soekarno-Hatta termasuk yang kerusakannya paling parah. Lalu mereka berusaha membangunnya kembali semirip bandara sebelum hancur berkeping-keping dan jadilah bandara itu seperti sekarang.

Yah, aku tidak begitu mengerti tentang arsitektur dan hal-hal semacam itu, jadi walau kata orang ada sedikit perubahan di sana sini, aku sama sekali tidak tahu di mana letak perbedaannya.

Aku menarik koperku sambil melihat tiket pesawatku. Aku sempat kesulitan beberapa saat, kesulitan untuk menenteng kotak biolaku sekaligus menarik koperku, setelah itu aku baru bisa berkonsentrasi pada tiket pesawatku. Biasanya aku bisa mengetahui nama pesawatnya dengan melihat tiketnya. Hal wajar, kan?

Aku menghentikan langkahku, mengernyit bingung.

Apa-apaan ini, tak ada nama pesawatnya, kataku dalam hati dengan panik.

Aku membolak-balik tiket itu, mencari-cari. Aku mengucek-ucek mataku beberapa kali, tapi nama pesawatnya tetap tidak keluar. Lebih parah lagi, tak ada jadwal keberangkatan pesawatnya. Di atas kertas tebal berbentuk persegi panjang itu hanya tercantum kata 'ticket', selain itu tidak ada apa-apa lagi yang menunjukkan bahwa itu adalah sebuah tiket.

"Ng-nggak ada! Tiket macam apa ini?!" teriakku, lebih panik lagi dari sebelumnya. "Sekarang bagaimana caraku berangkat?!"

Aku baru saja akan terjatuh lunglai di lantai bandara sebelum akhirnya aku ingat salah satu petunjuk dalam surat undangan itu. "Ketika di bandara, tunjukkan saja tiket pesawat Anda pada petugas dan mereka akan menunjukkan jalan ke pesawat khusus...," ulangku. "Kedengaran konyol, tapi tak ada salahnya dicoba."

Aku berjalan mendekati salah satu petugas tiket dengan menelan segala harga diriku (alias rasa malu). Dia sedang berdiri di depan salah satu pintu kaca menuju ke bagian dalam bandara. Aku nyengir padanya, tampangnya malah berubah seperti mencurigaiku.

Huh, orang-orang zaman sekarang memang tidak ada ramah-ramahnya, gerutuku dalam hati.

"Anu...." Aku menunjukkan tiket pesawatku padanya. Dia mengangkat alis lalu menatapku kaget.

"Ma-maaf, Nona." Melihatnya gelagapan begitu membuatku ingin kabur secepatnya. Kukira ia akan berkata, 'Maaf, Nona, tiket mainan macam ini tidak berlaku.', tapi ternyata dia malah berkata, "Silakan lewat sini, biar saya tunjukkan jalannya."

[R] AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang