chapter 2 : Invitation

1.8K 24 8
                                    

R. Academy

©copyrighted by Cintimon026

Chapter 2 : Invitation

Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Meski pijakan kakiku sekarang terlihat jelas, berjalan sendirian pada malam hari di Jakarta sama sekali bukan ide bagus. Aku teringat berita yang kutonton kemarin malam, tingkat kerusakan dan penyerangan pada malam hari meningkat drastis. Beberapa malam para perusak itu bahkan meruntuhkan satu mansion berlantai lima di pinggir kota. Yang membuatku sangat heran, bagaimana mungkin tak seorang pun tahu apa yang terjadi? Tak seorang pun mendengar atau melihat apa yang terjadi. Tak seorang pun tahu siapa biang keladinya.

Jelas-jelas memperburuk ide berjalan sendirian pada malam hari. Bisa-bisa aku tiba-tiba mati tanpa seorang pun menolongku.

Aku bergidik dan mempercepat langkahku.

Pintu toko berderak keras ketika kudorong dengan kasar. Lonceng di sudut atasnya bergemerincing, berayun-ayun tidak karuan hingga kupikir akan copot lagi. Aku menengadahkan kedua telapak tanganku tepat ketika lonceng itu lepas dari tempatnya bergantung dan menangkapnya dengan panik.

Seketika itu juga aku mendengar suara tawa membahana seorang pria dari dalam toko, otomatis aku berbalik dan menemukan Mr. Dan di belakang counter pembayaran.

"Eh...maaf," kataku padanya dengan senyum memelas minta maaf. Aku berjalan ke arah counter dan menyerahkannya lonceng itu dengan tangan kiriku.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa," balasnya lalu tertawa lagi. "Kau memang selalu begitu tiap datang ke sini, heboh dan kasar."

Aku tersipu malu. Rasanya aku berubah menjadi anak kecil yang merepotkan lagi setiap kali berhadapan dengan Mr. Dan, tapi berbeda dengan orang tuaku, dia tidak pernah memarahiku. Dan tentu saja tadi aku berbohong pada Zamin, aku ke sini bukan untuk membicarakan biolaku, tapi membicarakan masalahku. Mr. Dan sudah seperti ayah keduaku.

Mr. Dan mulai mengelap lonceng tua yang berdebu itu. "Jadi ada apa? Sudah tiga hari ini kau tidak main ke sini." Dia menatapku dengan mata teduh penuh kasih sayang itu lagi, seakan-akan aku ini anak kandungnya. Beliau memang sudah berumur di atas lima puluh lima tahun, rambutnya sudah mulai memutih tapi wajahnya tetap menyiratkan keramahan. Seharusnya ia sudah memiliki cucu, tapi aku tak pernah mendengarnya bercerita tentang keluarganya. Dia selalu terlihat sendiri di toko ini, hidup di antara benda-benda tua yang antik dan terurus.

Aku terdiam sejenak, bingung harus memulai dari mana. "Aku dikeluarkan dari sekolah."

Dia hampir menjatuhkan loncengnya. "Apa? Kok bisa?"

"Aku memukul seseorang." Aku menyeret salah satu kursi di dekat counter lalu duduk dengan santai. Aku mengangkat bahu. "Orang yang menyebalkan. Kami terlibat perkelahian. Lalu kupukul dia sekali dan dia langsung terkapar. Dia dirawat di rumah sakit setelah itu. Lemah sekali, kan?"

Mr. Dan menyipitkan matanya. "Kau berkata seperti itu seolah-olah kau santai-santai saja dikeluarkan dari sekolah, padahal kau bingung dan ketakutan setengah mati kan?"

"Bingo!"

Dia menggelengkan kepalanya lalu menghela napas. "Aku benar-benar tidak mengerti sekolah zaman sekarang. Zamanku dulu, tawuran itu biasa."

"Yah, kuharap aku hidup di zamanmu itu."

Dia menepuk kepalaku, lebih untuk menyemangatiku. "Lalu ada apa lagi?"

"Aku cuma nggak tahan berada di rumah. Menunggu telepon dari orangtuaku rasanya sama saja dengan menunggu vonis mati." Aku mengernyit mendengar kata-kataku sendiri, tapi memang perbandingan itu yang paling tepat.

[R] AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang