P ada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan
Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di
kampung Alang Lawas. Di dalam bendi ini duduk Sutan
Mahmud.
Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk.di atas bendinya,
bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya.
Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai
suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, ber-kancingkan "letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam
sebagai baju opsir. Celananya celana panjang putih, sedang di
antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis
hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya. Sepatunya
sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam.
Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena
adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya
Samsulbahri. Di antara Penghul u-penghulu yang delapan di kota
Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang
orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya
pun baik; pengasih penyayang kepa da anak buahnya, serta adil
dan lurus dalam pekerjaannya.
Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan
Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu
naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung
ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana,
pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat
hitam. Di dalam pekarangan in i, banyak tumbuh-tumbuhan yang
sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang.
Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah,
dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat
putih. Pada bentuknya nyata, ge dung ini buatan lama; karena
bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukir-ukiran, lantainya
papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi
dengan rumbia, sehingga tak m udah bocor. Pada dindingnya
yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki
dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekeliling-nya berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam. Di serambi
muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu
gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran
timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah
sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, di-kelilingi oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi
ini tengahnya menganjur ke muka sedikit. Di sanalah bertemu
kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi.
YOU ARE READING
Sitti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
RomanceKisah cinta yang melegenda karya Marah Rusli ini, dapat anda baca di sini.