Wattpad Original
There are 2 more free parts

[4] Empat

137K 14K 776
                                    

Jika bagimu sahabat adalah segalanya, maka bisakah kita bersahabat seumur hidup, berbagi tawa, luka dan gelisah hingga kita renta bersama?

"Lo abis kobam?" tanya Dannie, setelah ia berhasil tersadar dari keterkejutannya. Arsyad dan segala pemikiran anehnya memang kadang membuat kepala Dannie pusing menghadapi laki-laki itu.

"Gue sadar, enggak kobam. Ngawur lo, Dan."

"Lo pikir nikah itu gampang? Lagian, gue juga enggak tahu pasti, apa itu bener atau enggak, cuma sebatas cerita doang. Kalau lo mau, bawa aja Liara ke psikolog atau psikiater, itu langkah yang paling bener."

Dannie memberi solusi lain, Arsyad menghela napasnya, menatap Dannie dengan pandangan aneh.

"Lo pikir gue enggak mikirin hal itu dari tadi?"

"Lah terus?"

"Dia bukan orang yang gampang cerita masalahnya sama orang lain. Apalagi psikolog yang notabene orang asing. Sama gue aja dia masih suka bohong, nutupin perasaannya."

"Tapi mereka punya teori, nanti, kan, bisa dibantu. Sok tahu lo, ah."

Arsyad membuang napasnya. "Gue tahu, dia enggak butuh psikolog atau semacamnya, tapi dia butuh orang yang ada buat dia."

"Enggak harus nikah."

"Lo sendiri yang bilang tadi."

Dannie ingin memukul kepala Arsyad, ia menelan bulat-bulat pisang goreng yang masih tersisa lumayan besar, membuatnya nyaris tersedak.

"Yang diceritain dosen gue emang bener, orang itu beneran sembuh setelah nikah, tapi, kan, lo enggak bisa menyamaratakan semua masalah dengan penyelesaian yang sama? Konsepnya bukan soal nikah, Syad, tapi soal gimana dia bisa sembuh."

"Tapi, lo bilang dia punya masalah yang serupa sama Liara?"

"Emang, tapi gue enggak mau lo salah ambil keputusan, ini bukan tentang Liara doang, tapi juga lo. Enggak semua teori mempan di orang, Syad. Setiap orang beda penanganan."

"Beneran mau nikah?"

Fajar menyahut, setelah diam sejak tadi. Mendengar 'nikah' disebut oleh dua temannya itu membuat konsentrasi bermain gamenya buyar. Yang benar saja si Arsyad.

"Menurut lo gimana, Jar?"

"Emangnya kamu cinta sama dia?"

Arsyad mengangkat kedua bahunya. Cinta? Dia tidak tahu, hanya saja, nalurinya selalu ingin melindungi Liara, semenjak pertama kali bertemu dengan Liara beberapa tahun lalu. Ia tidak bisa meraba hatinya sendiri, setidaknya untuk saat ini. Satu hal yang pasti, Arsyad tidak ingin melihat Liara terluka lebih dalam lagi.

"Syad, nikah itu enggak cukup kamu ijab qobul, dan denger kata sah diucapin. Nikah itu komitmen, yang bikin kebebasanmu terbatas, kamu juga punya tanggung jawab untuk kasih nafkah istrimu. Yakin kamu siap?"

Mengusap wajahnya, Arsyad lalu berdiri dari duduknya. Ia akan memikirkan perkataan Fajar. Menikah mungkin akan membuat kebebasannya terenggut, masa mudanya juga akan terbatas. Tapi, keinginan untuk menolong Liara lebih kuat dari apa pun itu.

"Gue mau ke kamar."

"Pikirin lagi, Syad, jangan ngawur lo," kata Fajar sebelum Arsyad masuk ke dalam kamarnya.

***

"Hai, Ma," kata Arsyad begitu panggilan video tersambung dengan mamanya.

"Kamu, kok, lemes gitu? Kenapa? Baik-baik aja, kan, di sana? Makanya teratur, kan?" Pertanyaan beruntun dari Keya—mamanya membuat Arsyad tersenyum geli.

Arah ✔Where stories live. Discover now