10

5.4K 421 5
                                    

Vanessa terlihat begitu khawatir sampai-sampai ia hampir menghancurkan gelas minumannya. Ashlyn menyentuh tangannya, mencoba menenangkannya. Bagaimana ia bisa tenang? Perasaan takut bercampur khawatir menyergap hatinya secara tiba-tiba. Pandangannya pun mulai sedikit kabur tanpa sebab, begitu juga kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit seperti habis menghantam sesuatu. Ia mencoba bangkit dari kursi untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Tapi yang ia rasakan malah tubuhnya terasa begitu berat seolah ada ratusan batu yang digantungkan di setiap tubuhnya. Ia meraba-raba udara seperti orang buta untuk mencari pegangan. Saat tangannya berhasil menemukan dinding, ia mendekatkan dahinya ke dinding dan mulai bernapas terengah-engah.

“Vanessa, ada apa denganmu?” tanya Ashlyn menghampiri Vanessa di belakangnya dengan raut khawatir.

Mata Vanessa terbelalak. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Tubuhnya terasa semakin berat, pandangannya pun hampir seperti foto yang tidak fokus. Tiba-tiba lututnya terasa begitu lemas dan ia pun terjatuh ke lantai.

“Vanessa, Vanessa!” seru Ashlyn mencoba menyadarkan Vanessa dengan mengguncang-guncang tubuhnya.

Tiba-tiba pintu terbuka dan sosok Shane muncul dengan wajah khawatir sekaligus waspada. “Ash, jauhi dia!” perintahnya.

“Kenapa?” tanyanya kebingungan.

Tanpa menjawab pertanyaan darinya, Shane menghampiri Vanessa yang masih tak sadarkan diri. Ia sedikit menjaga jarak darinya seolah akan ada sesuatu yang terjadi.

Mata Vanessa mulai mengerjap terbuka. Ia bangkit dan matanya langsung tertuju pada Shane. Vanessa menyeringai.

“Tidak kusangka aku akan bertemu Alpha disini,” katanya. Vanessa bangkit berdiri dan menghadap Shane yang masih memasang tampang waspada.

“A-apa yang terjadi? Siapa dia?” tanya Ashlyn di belakang Vanessa.

Vanessa menoleh dan menatapnya dengan tatapan sinis. “Diam kau!” ucapnya.

“Dia bukan Vanessa. Seseorang memasuki tubuhnya,” jelas Shane.

Vanessa tersenyum. “Biar kuperkenalkan diri.” Ia membungkuk. “Perkenalkan, namaku Shelby. Aku diutus oleh Lord Mark untuk menemui Vanessa Ravenford.” Ia berdiri tegak dan masih tersenyum pada Shane.

“Bisa kau beritahu dimana keberadaan Mark sekarang?” tanya Shane.

“Sayangnya aku tidak bisa memberitahumu, tuan Alpha. Itu menjadi rahasia kami, para vampire yang ia ciptakan.”

“Apa yang akan kau lakukan pada Vanessa?”

“Aku akan mengambil alih tubuhnya dan membawanya pada Lord Mark.” Ia menyeringai, tiba-tiba matanya berubah menjadi merah. “dan kau tidak akan pernah bertemu lagi dengan Vanessa. Selamanya.” Tiba-tiba Shelby melaju ke depan dan menyerang Shane dengan sebilah pisau tajam yang entah muncul dari mana. Dengan cepat Shane mencengkeram tangan Shelby yang memegang pisau dan menahan tubuhnya.

“Lepaskan aku!” teriaknya. “akan kulaporkan perbuatanmu pada Lord Mark.”

“Oh, begitukah? Setahuku raja vampire yang paling berkuasa adalah Jaden.”

“Dia tidak ada apa-apanya dibandingkan Lord Mark.”

“Tidak sebelum kau melihat kekuatannya.” Shane menyeringai dan berubah menjadi serigala. Ia menyerang Shelby dan membuatnya jatuh terjerembab. Sosok Jaden yang sedari tadi menunggu di depan pintu muncul dan menatap Shelby dengan tatapan membunuh.

Wajah Shelby berubah menjadi ketakutan saat menatap pria itu berjalan. “Lepaskan aku. Cepat lepaskan aku!” teriaknya seperti anak berumur lima tahun.

Jaden mendekati mereka dan berjongkok di samping Shelby. Ia mencengkeram dagu Shelby dengan kasar. Mata abu-abunya berubah menjadi merah dan menatap mata Shelby dengan tajam, tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masuk ke pikiran Vanessa.

Mata merah Shelby terbelalak. Ia menjerit-menjerit seolah menahan rasa sakit. Jaden terus menyerangnya melalui pikiran agar sosok Shelby bisa keluar dari tubuh Vanessa. Akhirnya, dengan satu sentakan Shelby keluar dari tubuh Vanessa. Sesosok gadis pirang berumur dua belas tahunan.

“Disana kau rupanya,” ujar Jaden dan mendekati Shelby yang meringkuk ketakutan menatapnya. Ia meraih tangan Shelby. “Katakan, dimana Mark?”

Shelby menggeleng dengan tubuh bergetar. Matanya beralih pada Vanessa yang masih tak sadarkan diri dalam pelukan Shane. Jaden mempererat cengkeramannya hingga membuat gadis kecil itu meringis kesakitan.

“Kami dilarang memberitahu karena Lord Mark akan membunuh kami jika kami memberitahu keberadaannya,” jelas Shelby akhirnya dengan suara bergetar.

Jaden menatapnya sejenak sebelum akhirnya melepas cengkeramannya.

“Percuma menanyakan keberadaan Mark pada vampire ciptaannya jika kita tidak mencarinya sendiri,” jelas Jaden pada Shane. Jaden memutar tubuhnya dan menatap Shelby sekali lagi. “haruskah aku membawanya?” tanyanya menunjuk gadis kecil itu dengan jempolnya.

Shane menatap Shelby, lalu menatap Ashlyn yang ada di belakang gadis itu. Ashlyn mengangkat bahunya. “Semua terserah padamu, Alpha. Kau yang berhak memutuskan,” kata Ashlyn.

Shane menutup mata dan menghela napas. “Biarkan dia disini. Siapa tahu dia berguna untuk mengetahui keberadaan Mark.”

“Oke. Itu keputusanmu. Kalau kau membutuhkan bantuan, hubungi aku. Dan jangan lupa, jaga gadisku baik-baik.”

Shane menggeram pada Jaden sementara ia berjalan keluar. “Aku hanya bercanda, bung. Dia akan tetap menjadi milikmu.”

Setelah Jaden pergi, Shelby terlihat masih meringkuk ketakutan. Shane berdiri dan mengangkat tubuh Vanessa dengan mudah, seolah beratnya tak lebih dari sekarung kapas. “Urusi dia,” perintahnya pada Ashlyn. Shane berjalan masuk ke kamar dan membaringkan tubuh Vanessa ke kasur, lalu menyelimutinya.

Vanessa mengerjapkan mata setelah beberapa menit kemudian. Shane masih tetap menunggunya disamping tempat tidurnya. Ia memegang kepalanya yang masih terasa pening. Ia mencoba bangkit, Shane bermaksud membantunya, tapi ia malah mendapati dirinya terbaring kembali dengan kepala yang terasa semakin berat.

“Beristirahatlah sebentar. Aku akan disini menjagamu,” ucap Shane lembut.

“Apa yang terjadi?” tanya Vanessa dengan suara serak.

“Seseorang memasuki tubuhmu. Tapi sekarang kau sudah aman,” ujarnya seraya mengusap kepala Vanessa.

Vanessa menatap langit-langit atap berwarna putih. Meskipun kepalanya masih terasa berat dan matanya sulit untuk terbuka lebar, ia mencoba merasakan usapan lembut Shane di kepalanya.

“Maaf Shane, aku selalu merepotkanmu,” ucap Vanessa tiba-tiba.

“Sudah menjadi tugasku untuk melindungimu. Kau tidak perlu meminta maaf padaku.”

Vanessa menggeleng dengan mata terpejam. “Tidak. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Kuharap ingatanku kembali dan bisa merasakan bagaimana rasanya saat bersamamu dulu,” ungkapnya sebelum Vanessa terlelap dalam tidurnya.

Far Away (Book #2)Where stories live. Discover now