Qolqolah Aki

417 18 1
                                    


Semburat warna senja menghiasi langit kota Majalengka, memancarkan warna jingga kekuning-kuningan berpadu dengan hijaunya pepohonan, indah sekali. Silau cahayanya memantul melalui jendela mobil angkutan yang aku naiki, membuat mataku harus terpejam demi menikmati pesona indahnya.

"Kiri, mang...!" panggilku menghentikan pak supir, sambil menyodorkan uang lima ribuan kepadanya. Kemudian mobil itu pun melanjutkan perjalanannya.

Akhirnya aku menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Setelah berjam-jam naik turun kendaraan antar provinsi, dari Jawa Timur menuju Majalengka Jawa Barat, sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Ciremai, gunung terbesar di sana, disambut oleh semilir angin yang sejuk dan panorama yang indah.

Tak lama kemudian adzan Ashar pun berkumandang, membuatku yang sedari tadi melamun segera tersadar dan melangkahkan kaki menuju masjid. Tak lama kemudian, beberapa anak berlari menuju mimbar dan berebut mengambil mikrofon yang ada di mimbar, lalu bersama-sama menyenandungkan pupujian yang sudah tidak asing lagi di telingaku.

"Eling-eling ummat... muslimin muslimat....

Hayu urang berjamaah, sholat-sholat Ashar...

Eta kawajiban... urang keur di dunia...

Kangge bekel jaga urang di akherat..."

Aku tersenyum melihat tingkah mereka, memoriku mulai mengingat kenangan tujuh tahun lalu. Bagiku tak ada yang banyak berubah dengan desa ini, desa yang telah membesarkanku, semua tetap tersimpan rapi dalam memoriku. Bukan hanya tentang penduduknya yang ramah. Tapi desa ini juga menjadi saksi bisu atas lahir dan tumbuhnya seorang pemuda kampung yang kecil, kurus, tapi gagah berani. Seorang petani kaya yang jujur dan tawadhu, kata-katanya diikuti, jasa-jasa, kegigihan dan tauladannya menyiarkan agama Islam menjadikannya dikenang sebagai tetua yang bijak dan tangguh oleh anak cucunya, dan semua orang yang mengenalnya,termasuk aku.

***

"Qul a'uudu birobbil falaq"

BRAKK! Sebuah pukulan keras menghantam meja. Wataknya yang keras dan tegas mulai menghapus kesabarannya. Sudah tiga kali anak kecil di hadapannya membaca ayat itu, tapi tetap saja salah.

"Baca dengan baik! Perhatikan makhraj dan tajwidnya!"bentaknya penuh ketegasan. Anak kecil itu gemetaran, keringatnya mengucur deras. Aku dan anak-anak lain yang mengelilinginya hanya bisa tertunduk takut.

"Lihat kesini! Dengarkan baik-baik," bentaknya.

"Qul... a'uu...dzu bi...robbil falaq. Ingat ya! Pakai dzal, nanti di akhirnya diberi qolqolah. Ayo, ulangi!" ucapnya mengulangi bacaan tadi dengan pelan dan fasih.

"Qul... a'uu...dzu bi...robbil falaq," tiru anak kecil itu pelan sambil gemetaran.

BRAKK! Lagi-lagi pukulan kerasnya menghantam meja. Membuat aku dan anak-anak yang mengelilinginya terperanjat kaget. Anak kecil di depannya mulai menangis, air matanya menetes dengan perlahan. Inilah yang selalu aku ingat hingga saat ini, makhraj Qolqolah Aki  ini yang selalu mengingatkanku. Suaranya dalam dan memantul penuh kemantapan. Menggambarkan sosoknya yang penuh dengan ketegasan, keteguhan, dan penggerak tanpa ragu.

"Tadi kan sudah Aki bilang, beri qolqolah di akhirnya. Belajar al-Qur'an itu harus serius. Tajwid dan makhraj itu nanti berpengaruh terhadap Fatihah yang kamu baca ketika shalat!" ucapnya serius tanpa mempedulikan anak kecil yang menangis di depannya. Kemudian ia menatap jam di belakang surau kecilnya lalu berbalik menatap kami.

"Sudah waktunya Isya', sudah dulu ngajinya, kita lanjutkan lagi besok. Jangan lupa ya, dideres Qur'annya!" ucapnya mengingatkan.

"Muhun" jawab kami penuh kepatuhan. Kemudian ia beranjak menuju sebuah pohon jambu di depan surau kecilnya, lalu memukul kokol yang tergantung di sana berkali-kali, tanda waktu shalat telah tiba.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 28, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Qolqolah AkiWhere stories live. Discover now