8. Would You be My Girl?

171K 5.5K 767
                                    

Clara POV

Aku berjalan perlahan menapaki jalanan kecil berbatu di sebelah Rion yang berjalan lebih pelan untuk menyeimbangkan langkahnya denganku. Subuh ini, seperti janjinya, kami menyelinap keluar untuk pergi ke suatu tempat yang dikatakan Rion. Saat kami meninggalkan perkemahan jam 5 tadi, tidak banyak yang sudah bangun. Karena semalam, banyak murid yang terjaga hingga lewat tengah malam, sehingga saat ini kebanyakan dari mereka masih terlelap di dalam tenda masing-masing.

Di tambah turunnya hujan sejak jam 2 pagi tadi, membuat udara semakin dingin dan itu berhasil membuat semua orang pun malas keluar dari tenda mereka yang hangat. Hampir semuanya, karena sekarang, aku dan Rion malah lebih memilih untuk meninggalkan kehangatan tenda dan memutuskan pergi. Walaupun aku sudah memakai baju berlapis bahkan jaket 2 buah, tapi tetap saja dinginnya udara tidak hilang begitu saja.

Tanganku memerah dan mulai mati rasa. Asap putih keluar dari mulut dan hidung kami berdua. Aku menyelipkan tanganku yang kaku ke dalam saku jaket untuk mengurangi dingin. Hidungku rasanya membeku saat ini. Mukaku pun terasa kaku dan sulit untuk menggerakkan otot-ototnya. Aku tidak akan bisa tersenyum dengan wajar saat ini. Itu yang aku tahu.

Aku melihat Rion yang berjalan sambil bersenandung pelan dengan santai. Dia tidak terlihat merasa kedinginan sedikit pun. Padahal dia hanya menggunakan sweater rajutan berkerah tinggi dan jaket gunung yang tidak terlalu tebal. Hanya begitu saja tapi sudah bisa membuat dia merasa hangat. Mungkin dulunya dia tinggal di atas gunung atau apa. Kenapa dia tidak kedinginan sama sekali?

Rion kemudian menoleh padaku yang sedang melihatinya dan menyeringai seperti biasa. "Muka lo lucu banget."

"Lucu kenapa?" tanyaku bingung tapi aku menduga pasti Rion sedang ingin mengejekku saat ini.

"Pipi lo merah gitu kaya abis digebukin. Hidung lo apa lagi! Mirip Rudolf" ejeknya seperti yang sudah aku duga. "Emangnya dingin banget ya?"

"Banget!" seruku dengan nada tinggi. "Kamu aja yang aneh. Orang eskimo ya?" 

"Lo yang payah" sahut dia sambil tertawa kecil."Udara adem begini kok" katanya sambil memejamkan mata dan menghirup udara bersih dan sejuk saat ini.

Aku melihati wajahnya yang tetap terlihat tampan walaupun pada kenyataannya kami belum mandi dan langsung pergi begitu saja setelah bangun. Rambutnya sedikit berantakan dan dia tidak berusaha untuk merapihkannya. Karena biarpun begitu, Rion tetap terlihat begitu memukau.

Beruntung bagi istrinya kelak saat terbangun di pagi hari, menemukan wajah tampan miliknya begitu membuka mata. Aku yakin hanya melihatnya saja, siapapun akan merasa begitu bahagia dan bersemangat sejak pagi hari.

Mungkin karena terlalu focus melihat wajahnya, aku sampai tidak memperhatikan jalan dan akhirnya menginjak batu yang cukup besar dan mengakibatkan aku kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh kalau saja Rion tidak cepat menahan tubuhku.

"Jalan liat ke depan, bukan ngeliatin gue!" ledek Rion sambil menyeringai puas saat aku bisa berdiri tegak kembali. Wajahku terasa panas karena tertangkap basah melihati dia sedari tadi.

Rion kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Tangannya terasa begitu hangat di saat tanganku terasa bagaikan es batu.

"Biar lo ga jatuh lagi." Katanya sambil melihat kedua tangan kami yang bertautan. "Yuk, kita udah mau sampai"

Hari semakin terang saat kami melalui bukit-bukit yang cukup terjal. Rion tidak pernah melepaskan tanganku sedetik pun selama kami melewati jalanan yang sulit dilalui itu. Dia memastikan aku bisa berjalan tanpa hambatan dengan menyingkirkan semua rintangan. Dia begitu bisa diandalkan saat seperti ini.

[3] Let Out The Beast [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang