Lumayan Cantik

148K 5.8K 61
                                    

Seminggu sudah tragedi lift berlalu tanpa ada progres, aku kembali menjadi Rena yang pasif terhadap lawan jenis. Bukan karena aku tak suka pria, hanya aku tak mau orang yang kusukai tahu isi hatiku. Mau kutaruh mana mukaku kalau orang yang kutaksir tahu, malu dan yang pasti aku memilih tenggelam dalam stunami. Dan pasifku yang sekarang karena aku masih canggung berdekatan lama-lama dengan Raffa. Aku harus profesional dan mengesampingkan tugas negara yang diberikan Pak Hendra sementara waktu kalau masih ingin hidup tenang tanpa diskriminasi dari Raffa. Niat hati membuat si bos tertarik dan menyukaiku tapi hasilnya malah aku yang klepek-klepek dibuatnya. Katanya nggak suka wanita tapi ko sikapnya bikin aku panas dingin.

"Nana, cepat ikut aku." Raffa menarik tanganku paksa sampai aku harus sedikit terseret karena tak siap ditarik.

"Bentar bos, mau kemana.? Eh..bentar..." Aku menyambar tasku dan tahu-tahu kami sudah di dalam lift, bukan tragedi minggu lalu yang kupikirkan dan kutakutkan tapi lihatlah kakiku. Mulus tanpa alas kaki.

"Kenapa main tarik-tarik sih? Aku belum pakai sepatu, lihat!" Ya aku memang sedang santai tadi jadi kulepas stiletoku karena merasa pegal seharian mondar-mandir ruangan bos yang banyak maunya.

"Kemana sepatumu? Jangan harap ya aku mau gendong kamu, trik jadul." Ujarnya ketus.

"Awwww... Sakit tahu, sekarang mau trik apalagi?" Kutendang saja tulang keringnya, enak saja main tarik orang sekarang menuduh sembarangan. Aku udah nggak tahan ya, dipecat juga masa bodoh. Mungkin sekarang tensiku seperti nenek-nenek yang hipertensi.

"Halo bosku yang ganteng tapi paling sok tahu, tadi siapa yang main tarik aja hah? Ya Tuhan, orang sabar disayang pacar."

Aku harus teriak atau nangis nih, baru kelar ngomong badanku udah melayang. Ada ember nggak, aku mau nutup mukaku. Aku belum siap dikeroyok wanita-wanita di kantor. Bayangkan sepanjang lobby aku benar-benar digendong sampai mobil. Mukaku pasti sudah seperti kepiting rebus, aku sudah nggak sanggup lagi buat berontak karena terlanjur syok dan lagi-lagi aku meleleh lihat senyum Raffa yang berjuta-juta watt.

" Gimana? Enak digendong? Selain datar kamu juga kurang gizi, terlalu enteng berasa gendong ponakanku yang masih balita saja."

"Olok-olok aku lah sepuasmu!" Aku udah nggak bisa marah, cuma bisa melotot geram, aku terlampau sedih. Dikit lebay sih, tapi aku bener-bener sedih ngebayangin balik ke kantor dan diserbu macan-macan. Aku belum siap.

Tarik nafas, hembuskan. "Bos, bisa nggak lain kali ngajaknya yang normal, aku belum siap dikunci di kamar mandi sama macan di kantor."

"Kalau kamu dikunci di kamar mandi ya nggak apa lah. Paling nanti ditemenin penunggu situ."

Kutabok saja tangannya, " Aku serius, sudahlah. Bay the way kita mau kemana bos?"

"Nanti kamu juga tahu"

Mobil mengarah ke sebuah butik dengan tampilan luar yang keren, dengan serba kaca yang tembus cahaya matahari jadi masih di luarpun kita bisa melihat hampir semua isi di dalamnya yang tertata elegan, yang aku sendiri belum pernah masuk karena semua orang juga tahu, masuk ke dalam sama dengan lenyap gajimu sebulan kawan.

Aku melepaskan seatbelt karena si empunya mobil sudah keluar duluan, haruskah aku *nyeker masuk ke dalam sana. Bosku memang gila! Gila karena lagi-lagi membopongku bak putri, aku malu karena semua karyawan di butik menyambut kami di pintu masuk. Mimpi apa aku semalam ko hari ini aku harus bermuka tembok berkali-kali.

Raffa mendudukkanku di sofa pink soft yang lembut, aku malu tapi aku juga menatapnya takjub karena wajahnya semakin terlihat tampan karena efek lampu yang amat terang. Hilang sudah maluku, mungkin menguap karena efek panas di pipiku.

"Beri dia pakaian dan sepatu yang terbagus, aku mau si udik ini terlihat cantik."

Aku mencubit pingganggnya yang duduk di sebelahku, dia meringis kesakitan. Biar saja. "siapa yang udik heh? Jelas-jelas aku cantik begini, kamu saja yang tertariknya dengan pria." Upsss...aku keceplosan, matilah aku melihat wajah Raffa yang menegang seketika.

"Emmm...sorry, maksudku itu emm..." Ya Tuhan, kenapa aku yang dibuat bertekuk lutut? Harusnya tak begini. Bibir Raffa sudah menempel dan bergerilya di bibirku. Otakku menolak tapi hati dan syarafku mendukung hal ini. Ciuman singkat tapi sukses membuat jangtungku berdetak abnormal seperti saat menaiki roller coaster dan rasanya tak rela saat bibir manisnya menjauh. Ini tetap disebut ciuman kan walaupun aku hanya menikmati dan tak ikut andil dengan ikut merespon. Aku malu, kuakui aku nol untuk pelajaran ini. Pengalaman memang guru terbaik, tak ada pelajaran cium mencium di sekolah atau di manapun. Sungguh menyedihkan karena masa sekolah dan kuliahku habis untuk belajar dan kerja part time. Masa mudaku ternyata hambar.

"Masih berfikir aku tertarik pada pria? Cepat ganti bajumu!" Bak robot aku langsung berdiri dan mengikuti pelayan berbaju hitam merah yang sedang menahan tawa karena melihat adegan sweet tadi. Sweet karena memang manis, aku sudah tak waras kawan. Aku jadi berfikir ulang, kenapa rasanya aku seperti dikerjain bos besar (Pak Hendra). Benarkah anaknya gay? Aku harus bertanya pada ahli cium mencium, siapa lagi kalau bukan Della untuk memastikan ciuman tadi itu normal atau nggak.

***

Aku takjub dengan tampilanku sekarang, aku makin cantik. Narsis itu harus karena mungkin tak akan ada yang memujiku jadi kuatkan diri dengan memuji diri sendiri. Aku nyengir di depan cermin besar di ruang ganti. Tapi untuk apa aku pakai baju secantik ini, dress selutut warna tosca tanpa lengan. Aku jadi terlihat cute menurutku. Stiletto hitam yang cantik membuatku jadi tinggi dan kakiku terlihat jenjang tentunya. Cukup mengomentari diri sendiri, aku harus keluar sebelum ada sing mengamuk.

"Untuk apa aku pakai baju ini?"

"Lama, ayo ikut." Raffa menarikku ke luar butik. "Tapi bajuku tadi gimana?" Raffa hanya menaikan tas kertas bermotif bunga yang ternyata isinya baju kantorku. Kapan dia ambil, pintar sulap dia.

"Kamu nggak bayar?" Raffa hanya memperhatikanku, aku jadi ngeri tapi berharap. Kalian tahu kan apa harapanku? Raffa mendekat, aku jadi bergetar dag dig dug. Raffa mengulurkan tangan ke arah wajahku dan ternyata hanya melepas cepolanku dan menata rambutku. Ya, dia menata rambutku dengan jarinya. Walaupun harapan pupus tapi darahku berdesir hebat. Ada getaran-getaran aneh yang kurasakan saat jari-jari tangannya menyentuh rambutku. Berasa ada naga diperutku yang menggelitik. Bukan sekedar kupu-kupu tapi naga karena efekny dahsyat.

"Yup, lumayan cantik." Aku melotot sebal karena ucapannya.

Look at me BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang