Empat

37.6K 5.9K 205
                                    

Masih sebel dengan isu plagiat sih, tapi karena udah kadung ditulis, aku update aja. Semoga suka.

**

Aku baru masuk kamar Becca ketika ponselku berdering. Mama. Bahkan sebelum mengangkatnya, aku sudah tahu untuk apa dia menghubungiku.

"Rhe, Mama senang sekali akhirnya kamu memutuskan menerima Dody." Mama tidak merasa perlu menjawab salamku. "Tante Aira baru saja menghubungi Mama. Kami bahagia untuk kalian berdua, Nak."

Bagus sekali. Kedua orangtua kami sudah saling mengucap selamat untuk bencana yang kubuat dengan mulutku. Aku tahu ini bukan saat yang tepat menyanggah Mama, jadi aku hanya mendengar luapan kebahagiaannya tanpa memotong, sampai dia akhirnya memutus hubungan. Aku menutup telepon dan melemparnya di atas meja rias Becca.

"Kelihatannya kencanmu nggak berhasil." Becca menunjuk wajahku. "Tampangmu seperti orang baru tersengat kawanan lebah."

"Itu bukan kencan, Becca." Aku mengerang dan menjatuhkan diri di atas kasur. "Aku melakukan sesuatu yang bodoh."

"Itu kedengarannya persis seperti kamu. Kamu sering melakukan sesuatu yang bodoh. Pacaran dengan Ray dulu, misalnya. Itu bodoh sekali."

"Terima kasih sudah mengingatkan, Bec." Aku menutup wajahku dengan bantal. "Tapi yang kulakukan tadi lebih buruk daripada sekadar pacaran dengan Ray."

Becca menarik bantal yang kupakai menutup wajah. "Jangan pakai bantalku untuk bunuh diri, Rhe. Aku nggak mau ditangkap polisi karena kamu mati di atas ranjangku. Lakukan di kamarmu sendiri. Nanti kubantu menyimpul talinya supaya pas di lehermu."

"Aku bertemu Ray." Aku menatap langit-langit kamar Becca. Peristiwa tadi terbayang jelas, seperti film yang terputar dalam kepalaku. "Tapi itu bukan bagian yang terburuk." Aku menceritakan apa yang terjadi di rumah Dody tadi kepada Beca.

"Wow!" Becca hanya mengucapkan satu kata itu setelah jeda panjang.

"Wow?" Aku berbalik menghadap Becca yang berbaring di sisiku. "Hanya itu?"

"Kamu mau aku bilang apa, Rhe? Wow itu artinya menakjubkan. Apa yang kamu lakukan dengan melamar Dody di depan ibunya dan Ray memang menakjubkan, kan?."

"Aku nggak melamarnya!" Aku memukul tubuh Becca dengan bantal. Dia bukannya membantu dengan menghibur diriku yang galau, tetapi dia malah menggodaku.

"Apa pun namanya, intinya kamu mengatakan bersedia menikah dengannya tanpa dia perlu repot meminta. Keberanianmu perlu diacungi jempol, Rhe. Nggak semua perempuan punya nyali sebesar itu."

"Becca, aku serius!" geramku. "Aku nggak bisa menikah dengan orang yang nggak aku kenal. Aku nggak sebodoh itu."

"Menikah dengan seseorang yang lama kamu kenal nggak jadi jaminan akan berhasil juga, kan, Rhe? Kamu perlu waktu lama setelah kenal Ray untuk tahu kalau dia ternyata bajingan. Waktu perkenalan nggak bisa dijadikan ukuran kelanggengan hubungan."

"Dan nggak ada yang bisa menjamin kalau Dody berbeda dengan Ray, kan?" bantahku. "Bisa saja lebih buruk."

"Aku sih yakin mamamu nggak akan menyodorkan laki-laki yang dia pikir akan bikin kamu menderita nantinya, Rhe." Becca bangkit dari tempat tidur dan menuju meja riasnya. Dia mengeluarkan kapas dari kotak plastik dan mulai membersihkan wajah. "Kalau mau dengar pendapatku, jalani aja dulu. Kalian toh nggak akan menikah minggu depan. Masih ada waktu untuk saling mengenal."

"Aku nggak yakin, Bec. Laki-laki macam apa yang mau dijodohkan oleh orangtuanya?"

Becca melemparku dengan kapas kotor. "Kamu nggak bosan dengan pertanyaan itu? Dia nggak jelek, dan kelihatan jelas kalau dia punya otak. Jadi jawabannya hanya satu. Laki-laki yang patuh sama orangtuanya. Laki-laki yang menyayangi ibunya, pasti mencintai istrinya juga."

"Menurutmu aku harus menerimanya?" Aku tidak tahu mengapa harus menanyakan pendapat Becca, padahal aku tahu pasti apa yang diucapkannya kebanyakan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Becca mengibas. "Aku nggak bisa membuat keputusan untukmu, Rhe. Tapi aku sih nggak masalah punya suami setampan itu. Aku dengan senang hati akan berganti tempat denganmu kalau Ayang Dody nggak keberatan."

Dasar sinting!

**

Aku dan Dody duduk berhadapan di restoran yang kami sepakati untuk bertemu. Ini pertemuan kami yang pertama setelah kejadian di rumahnya beberapa hari lalu. Aku menghubunginya untuk mencari jalan keluar dari neraka yang kuciptakan sendiri. Aku akan berusaha membuat Dody menyetujui untuk mengatakan kepada ibunya kalau pernikahan kami tidak akan pernah terjadi.

"Aku tidak bisa melakukan itu kepada ibuku." Dody menggeleng tegas. "Dan aku tidak akan membiarkan kamu merusak kebahagiaannya."

Aku juga jelas tidak akan membiarkan ibunya berbahagia di atas penderitaanku. Tidak, aku tidak sebodoh itu. Aku harus berjuang untuk kebahagiaanku sendiri. Aku tidak akan mengikat diri kepada laki-laki di depanku ini. Aku tidak tahu apa pun tentang dia, selain wajah dan namanya.

"Bicara pada ibumu tidak akan sulit," bujukku. "Seorang ibu pasti akan mendengarkan kata-kata anaknya. Dia tidak mungkin memaksakan kehendaknya padamu."

"Aku akan melakukan apa pun yang akan membuat ibuku senang." Dody bersedekap, bersandar di kursi sambil terus menatapku. Aku tidak suka ketenangan yang ditunjukkannya. "Itu tugasku sebagai anak."

"Kamu tidak bisa melaksanakan tugasmu sebagai anak berbakti kalau itu mengorbankan orang lain!" Laki-laki di depanku ini benar-benar menyebalkan.

"Bukan aku yang memulai ini, kan?"

Sial, dia benar. Musibah ini bermula dari mulut kurang ajarku sendiri. Aku mengembuskan napas sambil memutar bola mata. "Ada jutaan cara untuk membuat ibumu bahagia tanpa melibatkan aku. Dan jangan bilang kamu melakukan ini karena ibumu akan terkena serangan jantung seandainya kamu membantah perintahnya. Atau dia sekarang terkena kanker stadium akhir, dan membuatmu menikah dengan anak sahabatnya adalah permintaannya yang terakhir. Astaga, itu hanya terjadi di film dan novel-novel roman."

"Penyakit jantung itu bukan bahan candaan." Sorot Dody terlihat kesal.

Double sial. "Ibumu sakit jantung?"

"Bulan lalu dia menjalani kateterisasi."

"Maaf." Kenapa sih aku selalu mendapat masalah karena mulutku? "Jadi aku harus menikah denganmu?" tanyaku putus asa. Aku tidak mau menjadi penyebab kematian seseorang. Kenapa hidupku jadi lebih drama daripada novel harlequin sih?

"Itu akan membuat ibuku senang."

"Kamu tidak punya pacar? Ibumu pasti tidak keberatan pacarmu menggantikan tempatku untuk menikah denganmu." Aku mencoba cara lain. "Kamu bisa membahagiakan ibumu, tanpa harus melepas kebahagiaanmu sendiri. Bagaimana?" Aku memberinya senyum lebar. Ide itu terdengar bagus.

"Aku tidak punya pacar sekarang."

Aku tidak beruntung. "Aku bisa mengenalkanmu pada seseorang." Aku punya beberapa teman perempuan di kantor. Atau Becca juga boleh. Laki-laki normal tidak butuh usaha untuk jatuh cinta kepada Becca. Dia contoh sempurna dari persilangan ras Asia dan Kaukasia. Dia jauh lebih cantik daripada aku, bahkan lebih cantik daripada kebanyakan artis karbitan di televisi.

"Kamu mau dengar pendapatku?" Dody menatapku lebih dalam. "Kamu harus membereskan masalah yang kamu buat sendiri. Orang dewasa bertanggung jawab pada apa yang dikatakannya." Dia menjawab pertanyaannya sendiri.

Triple sial. Aku benci laki-laki ini. Dia membuatku merasa menjadi orang bodoh dan tidak bertanggung jawab pada apa yang telah kuperbuat.

Di Simpang Jalan (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang