"Semuanya sama saja. Setiap hari sama saja. Membosankan."

53 1 0
                                    


Sudah lima tahun semenjak kepergiannya. Semua nya terasa sama saja sejak saat itu. Tidak ada hal yang menyenangkan, tak ada hal yang terasa amat berharga. Hambar.

Aku tidak ingin terlihat menyedihkan dihadapan semua orang. Tidak ingin dikasihani. Jadi aku membuat sebuah benteng untuk melindungi diriku. Tak ada maksud buruk sebenarnya. Hanya saja aku tidak suka dianggap sebagai orang yang menyedihkan jika aku memnunjukkan diriku yang sebenarnya.

Apa salahnya? Ini hakku atas diriku sendiri. Aku senang melihat orang tertawa karenaku. Itulah kenapa aku berlagak seperti orang yang periang dan seolah tak punya beban ataupun masalah. Kurasa semua temanku tertipu. Mereka tak tahu kalau teman mereka sangatlah menyedihkan.

Jadi setiap pagi aku datang ke sekolah dan menyapa mereka dengan ceria. Seolah aku baik-baik saja. Teman-temanku orang yang menyenangkan, seperti kebanyakan teman lainnya. Mereka kebanyakan orang yang suka tertawa dan bercanda. Tapi diantara mereka ada yang bernama Riska, dia bukan orang yang periang seperti lainnya tapi dia pintar menyesuaikan diri diantara mereka. Jika mereka tertawa, maka ia akan ikut tertawa dengan tawanya yang lemah itu. Diantara teman-temanku yang berisik aku paling menyukai dirinya karena merasa sebenarnya orang seperti dirinya lah yang seharusnya menjadi temanku yang sesungguhnya karena ia terlihat sama menyedihkannya denganku. Walau aku tahu dia juga sudah dengan keras berusaha menyembunyikannya di balik topengnya.

Apa aku juga terihat sama di matanya? Mungkinkah dia juga melihat bahwa sebenarnya aku adalah orang yang menyedihkan?

Riska anak baik, teman yang setia dan murid yang rajin. Aku lebih banyak bicara dengannya daripada anak-anak lainnya. Dia mudah mengerti luconanku yang kasar dan tak merasa risih. Dia juga membiarkanku meminum es miliknya setiap hari saat di kantin. Namun dia jarang tertawa saat bersama denganku. Terkadang kami membicarakan masalah yang lebih serius daripada luconan yang kasar.

Aku duduk sebangku dengan teman ku bernama Tania. Dia orang paling riang dan ceria yang pernah kukenal dan temui selama hidupku hingga saat ini. Tapi dia selalu berkata bahwa dia menyukai sikapku yang ringan. Dia benar-benar menganggap dan merasa bahwa aku adalah orang yang sedarah sepertinya. Yah, itu bukanlah salahnya.

Apalagi yang harus kuceritakan kecuali kedua teman yang sangat kukagumi dan kusukai itu? Mungkin lebih dalam mengenai diriku?

Sejujurnya sejauh yang kuingat aku bukanlah orang yang terturup dan dulu aku sangatlah banyak bicara. Aku suka menceritakan dan menanyakan hal-hal yang sepele. Yang malah menurutku menarik. Tapi sekarang aku tidak yakin aku masih memilikinya saat ini. Aku orang yang suka melakuka banyak hal hingga akhirnya membuatku kelelahan dan aku dapat tertidur dengan nyenyak. Asal kalian tahu, aku memiliki mimpi buruk. Mungkin sama seperti kalian. Tapi mimpi ini serasa datang dari dalam diriku. Dari lubuk hatiku yang terluka. Jadi, bisa dibilang jika ada kesibukan maka itu adalah obat pereda stresku.

Selain aku merupakan orang yang menyedihkan, terkadang aku juga baik-baik saja. Hari-hari ini sering kudengar bahwa aku moody-an. Kalau dipikir-pikir memang benar. Tapi aku sering menyebutnya gangguan emosi. Kami bertiga mengalaminya. Kakakku, aku dan adikku. Emosi kami sangat susah kami kontrol sendiri. terkadang dan seringnya merugikan orang lain.

"Ana!"

Siapapun itu aku sedang tidak ingin meladeninya. Aku sedang berada di perpustakaan dan tidak ingin diganggu. Disini tempat di mana aku bisa menyembunyikan diriku dari dunia luar. Suaranya memang tidak asing tapi terdengar membosankan karena ketegasan di dalamnya.

"Ana!" desisnya lagi.

Merasa terganggu aku meletakkan bukuku dan berjalan keluar perpustakaan. "Ada apa?!"

Dia mengikutiku dan berdiri di belakangku. Mungkin tak berani menatapku karena merasa aku sedang benar-benar kesal. Tapi aku dapat merasakan dia memaksakan dirinya untuk berbicara denganku. Dia asing dan tak begitu sering berinteraksi denganku. Tapi aku tahu dia, wajahnya dikenal di seluruh sekolah.

"Siapa kau?" tanyaku.

Dia menyejajarkan dirinya untuk berdiri di sampingku. "Aku Rama teman dan saudara jauh Riska." Dia mengamatiku sebentar. "Riska sedang berada di UKS."

Segera setelah dia menutup mulutnya aku berjalan meninggalkannya. Siapa Riko? Pemain basket itu? Terlihat seperti orang baik. Tapi mungkin hanya di luarnya saja.

Aku mempercepat langkahku dan sesampainya di UKS aku menuju kasur di mana Riska tidur.

"Kau terlihat menyedihkan," katanya.

"Aku ingin tidur rasanya."

Riska sering dan hampir seminggu sekali pingsan. Entah itu di kelas dan dikira tertidur oleh guru atau saat upacara dan selalu membenturkan jidatnya dulu ke tanah sering juga saat jam olahraga. Katanya tubuhnya lema, itu saja. Tak ada penyakit yang harus kau khawatirkan. Aku tidak sepenuhnya percaya. Bagaimana mungkin dia sesering itu pingsan. Saat kutanya apa kedua orang tuanya mengetahuinya dan jawabannya tentu saja mereka mengetahuinya. Mana mungkin tidak. Dia hanya perlu berbaring sebentar dan mengumpulkan darah menuju kepalanya untuk dapat menggunakan kepalanya untuk berpikir lagi.

Aku pergi ke kantin setelah dari UKS dan melewati lapangan basket terbuka. Sekolah kami memiliki 2 lapangan basket, satu yang sedang kulewati dan yang lainnya lapangan basket ber-stadion yang kuyakini bukanlah milik sekolah ini seorang karena terlihat sangat mewah dan kokoh juga sering digunakan bertanding oleh sekolah lain. Sekolah ini tidak akan pernah sepi, dan aku tidak bergitu menyukainya.

Kantin di sekolah ini ada 4. Di Timur, Barat, Selatan dan Utara walaupun tidak pas pada tempatnya. Kantin yang paling kusukai adalah Kantin Timur karena dekat dengan kelas dan biasanya yang paling sepi dari kantin lainnya. Walaupun perbandingannya hanya 1:2. Kantin ini tidak banyak disukai oleh anak-anak cewek karena memangs sedikit lebih jorok daripada yang lainnya. Yah, karena mayoritas anak yang kemari adalah anak laki-laki. Kantinya agak gelap dan tenang.

Karena aku ke kantin sendirian aku hanya membeli snack lalu berjalan pergi. Namun seseorang memanggilku dengan desisan yang sama seperti yang kudengar sebelumnya. Aku menoleh dan mendapatinya sedang berjala dengan langkah panjang-panjang ke arahku.

"Apa kau dekat dengan Riska?"

Aku diam.

"Apa kau dekat?"

"Memangnya ada apa?" tanyaku.

Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya dan menyerahkan padaku. "Tolong berikan ini padanya. Titipan dari ibuku."

Setelah bungkusan itu mendarat di telapak tanganku dia segera berjalan balik. Kembali ke kantin.

Apa mereka berdua tidak begitu dekat? Kenapa laki-laki itu tidak memberikannya sendiri ke Riska. Mungkin mereka di jodohkan dan sama-sama masih malu. Mungkin.

**

Tinggalkan jejak ya ^,^

Helloshy

ANA - Short StoryUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum