VOINU

785 10 6
                                    

Avery masih tak percaya dengan semua kejadian yang dialaminya. Walaupun dia sudah tak merasa aneh lagi dengan semua ini, karena selama 16 tahun hidupnya dihabiskan di antara keajaiban dan keanehan ini.

Hari ini tepat di malam ketujuh setelah usianya genap menginjak enambelas tahun. Di malam yang gelap sempurna, saat tak satupun benda langit yang memancarkan sinarnya. Tepat pada saat itu Avery harus siap menerima tugasnya. Tugas yang diemban turun-temurun oleh garis keturunan Volensia sebagai seorang Voinu Guardian. Penjaga batu suci yang menyimpan kekuatan alam yang terbagi dalam 6 elemen : aqua, wind, fire, earth, dark dan light. Dimana tiap elemen batu suci itu dijaga dalam tubuh seorang guardian dan mewariskan tugasnya secara turun-temurun.

Avery tak tahu banyak tentang batu suci itu. Yang ia tahu sejak kecil dia dan kakaknya - Dyland Volensia - memiliki kemampuan sihir untuk mengendalikan elemen aqua yang juga dimiliki sang ayah. Kini setelah usianya genap enambelas tahun dia baru mengetahui kenyataan bahwa dia harus menjadi penerus tugas sang ayah sebagai seorang guardian dari batu suci Voinu dengan elemen aqua.

***

Ave tampak tak tenang, terlihat dari seringnya ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Entah sudah berapa kali dia berpindah posisi - dari berdiri di balkon, bersandar pada pintu, dan sekarang ia memilih untuk tidur di atas ranjang sambil memejamkan matanya. Berharap saat nanti ia membuka matanya, kenyataan akan berubah seolah ia baru terbangun dari mimpi.

Saat Ave masih sibuk dengan fikirannya, tiba-tiba Dyland membuka pintu kamar perlahan. Kemudian seorang di belakangnya menerobos masuk tanpa meminta ijin si pemilik kamar.

"Ave, bagaimana kau bisa tidur disaat seperti ini!" seru seorang lelaki berambut coklat ikal yang langsung menerobos masuk begitu celah pintu baru sedikit terbuka.

Ave membuka matanya. Wajahnya berubah kesal saat melihat sosok yang berdiri di samping ranjangnya.

"Valen, apa yang kau lakukan di kamarku?" teriak Ave kesal. "Kak Dyland, kenapa kakak membiarkan bocah ini masuk ke kamarku?"

Dyland hanya tersenyum melihat kekesalan adiknya dari balik pintu sambil memegangi handle pintu yg terbuka.

"Ish, kau tidak senang aku di sini untuk menemanimu melewati saat yang sangat special ini?" ucap Valen berpura-pura merajuk sambil  tersenyum jahil.

"Aduh!" pekik Valen. Ave melempar sebuah bantal besar yang tepat mengenai muka Valen.

"Menemani apa hah? Kau kan tidak ikut dalam upacara itu." Valen meringis kesakitan saat kemudian Ave kembali melemparnya dengan boneka beruang besar yang sukses kembali mengenai mukanya.

"Sudah hampir waktunya Ave. Ayo kita turun!" suara Dyland menghentikan pertengkaran yang mungkin akan terjadi antara Ave dan Valen. Mereka memang tak pernah terlihat akur tanpa berdebat dalam waktu lama.

Ave mendengus kesal. Ia turun dari ranjangnya, berjalan mendahului Valen untuk turun menuju ruang pertemuan. Ave berjalan perlahan sambil berusaha menenangkan fikiran dan perasaannya. Dihitungnya tiap langkah dan anak tangga yang dilewati menuju ruang pertemuan sekedar untuk mengurangi rasa tegang.

Beberapa langkah lagi dan Ave tepat berdiri di depan pintu besar berukir naga yg berenang dalam gelombang air. Ave menarik napas dalam-dalam.

"Semua akan baik-baik saja," ulang Ave dalam hati sambil terus melangkah menuju pintu itu.

VOINUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang