Chapter 4| Can we be friend?

13.2K 1.2K 10
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Lelah. Satu kata itu yang mampu mendeskripsikanku saat ini. Setelah apa yang terjadi semalam, tidurku tidak begitu enak. Mataku terbuka dengan perlahan saat sinar matahari menelusup dari tirai. Dengan malas, aku beranjak dari atas kasur sambil merenggangkan tubuh. Kulirik jam digital di atas nakas dan menunjukkan pukul 07.30 pagi.

Sebentar, ini hari apa?

Aku kembali melirik jam digital dan tertulis di sana hari Sabtu. Berarti, hari ini aku harus pergi ke supermarket. Aku berjalan ke kamar mandi dan mulai melakukan rutinitas pagiku dengan langkah gontai. Kurasa, aku butuh segelas kopi supaya kantukku sirna. Semuanya karena si pangeran menyebalkan bernama Maxwell itu.

Ya, Maxwell. Si putra mahkota yang harusnya tidak plesiran sembarangan di negara lain. Mungkin masih masuk akal jika ia kemari karena pesta ulang tahun sepupunya waktu itu, tetapi pesta itu sudah lebih dari sebulan lalu. Semua kemungkinan muncul di benakku, sampai yang tidak masuk akal sekali pun. Namun, tidak ada satu pun yang kurasa cocok.

Setelah siap, aku mengecek ponsel dan melihat Ana mengirim pesan. Lalu aku tersadar kalau Ana tidak menggedor pintu apartemenku pagi ini. Dengan cepat, kubuka pesannya.

Aku bersama dengan Xavi. Terima kasih karena kau membawakan belanjaanku. Maaf sudah merepotkanmu.

-Ana

Aku hanya menghela napas lalu meneguk segelas kopi di depanku. Aku kembali melirik ponsel dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Setelah peralatan makan kucuci bersih, aku bersiap ke kampus. Aku putuskan ke supermarket nanti seusai jadwal kuliahku hari ini.

Kakiku baru saja ingin memasuki kamar, ketika suara bel terdengar di pintu. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Dengan perasaan bingung, aku berjalan ke pintu depan dan mengintip melalui lubang kecil yang ada di pintu.

Aku terkejut ketika mendapati sosok yang berdiri di depan pintuku.

***

"Selamat pagi, Nona. Yang Mulia sedang menunggui Anda di dalam mobil."

David, salah satu pengawal Maxwell—si penegur menyebalkan—yang tadi membunyikan bel, menyapaku saat kubukakan pintu. Ah, untunglah aku bukan orang yang mudah panik, jadi aku tidak menghujaninya dengan tatapan curiga.

Aku hanya mengangguk dan memasuki mobil SUV hitam mewah yang terparkir di pelataran gedung apartemen.

"Kenapa datang pagi-pagi?" tanyaku tanpa basa-basi saat sudah duduk nyaman di sana. Pintu mobil ditutup dan kulihat David berlari mengitari mobil dan membuka pintu mobil bagian depan. Kutatap Maxwell yang saat ini duduk dengan nyaman sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hari ini dia mengenakan setelan jas abu-abu tanpa dasi dan rambutnya ditata dengan rapi.

"Oh, sopannya wanitaku ini. Bagaimana kabarmu?" Begitu satir, dan jelas itu untukku yang tidak berbasa-basi dahulu. Setelah memasukkan ponsel ke saku jas, Maxwell menatapku lekat kembali. "Tidak mau menjawab? Baiklah. Aku datang hanya karena ingin menemuimu sebelum pulang ke Genoslavia."

The Royal Fate (Book One Of The Royal Series) ✔ [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now