Paradeso

36 2 0
                                    

Bila bulan tidak sedang purnama, mungkin aku tidak akan melihat keberadaan makhluk yang melesat cepat di angkasa. Makhluk itu berkulit hitam, bertubuh ramping dengan kepala berbentuk runcing, dan dari ekornya keluar asap putih. Meski jaraknya cukup jauh dari pantai tempatku kini berdiri, aku sangat yakin tubuhnya diselimuti baja. Terdapat lingkaran berwarna merah, ditengah-tengah lingkaran itu ada lingkaran lain berwarna hitam yang ukurannya tiga kali lebih kecil, di bawah  kepalanya yang langsung kukenali sebagai mata. Sepasang mata itu berlenggak-lenggok. Makhluk itu sedang mencari sesuatu.

Mataku kontan melebar ketika mengenalinya.Bukan makhluk. Tapi benda. Itu misil!

Dia menemukanku. Dia menemukan tempat persembunyianku!

Padahal aku sudah bersusah payah sampai di sini. Padahal aku sudah gembira tak menemukan poster dengan ilustrasi wajahku terpasang di setiap sudut tempat ini. Padahal aku sudah mengubah drastis penampilanku, dan aksen bicaraku, agar tak dikenaliku oleh penduduk setempat.

Tapi tetap saja.

Dengan sumber dayanya yang melimpah—

Ditambah dengan kekayaan yang harusnya menjadi milikku tapi dirampas olehnya—

Dia berhasil melacak keberadaanku.

Selama dua detik, atau terasa dua abad bagiku, mataku dan mata si misil saling bersitatap. Detik berikutnya, misil itu menutup matanya, tanda bahwa dia telah menemukan targetnya, dan secara tiba-tiba mengubah arahnya. Dia kini menukik menuju ke arahku.

Inilah saatnya, pikirku.

Namun... Misil itu melesat terus, membelah udara di atas kepalaku, melewati pantai tempatku berdiri.

Tunggu... Bukan ke arahku. Lebih tepatnya ke arah Paradeso. Misil itu mengarah ke Paradeso!

Oh, tidak...

Mungkinkah beberapa detik cukup untuk memperingatkan para penduduk?

Belum sempat aku menggerakkan kakiku barang satu senti pun, tiba-tiba misil itu meledak di tengah udara sebelum sempat menghantam sesuatu. Seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang menghentikan lajunya. Seolah-olah ada kekuatan supernatural yang memaksanya meledak sebelum menyentuh bangunan atau sejengkal tanah di Paradeso. Refleks kedua tanganku menutupi telinga. Meredam suara nyaring yang akan memecahkan gendang telingaku.

Aku bersorak girang dalam hati.

Hanya sesaat.

Sudah lama tak melihatnya, membuatku lupa bagaimana cara misil itu bekerja.

Misil itu tidak menghantam sesuatu atau ada seseorang berkekuatan supernatural yang menghentikannya. Lagipula mustahil ada dinding ajaib yang menyelubungi Paradeso. Dan selama hampir setengah tahun tinggal di sini aku belum pernah melihat satu pun penduduk dengan bakat supernatural.

Misil tadi meledak karena memecah diri. Misil yang awalnya hanya sebuah, berukuran besar, bertransformasi menjadi misil-misil berukuran mini berjumlah ratusan!

Menghujani Paradeso.

Bunyi ledakan, teriakan meminta tolong, teriakan memanggil keluarga, jerit kesakitan memenuhi udara.

Misil itu melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Kini giliran api, yang makin lama makin besar, melahap apapun yang ditemuinya. Rumah, hewan, bahkan manusia.

Beberapa misil berhasil melubangi tanggul danau di atas bukit. Air yang bertahun-tahun ditampungnya mendesak keluar. Seperti tsunami, dia melewati padang rumput yang rumputnya telah menguning dan mulai melibas apapun yang berada di hadapannya.  Termasuk penginapan tempatku tinggal.

KUKIS PEDAS - KUMPULAN KISAH PENDEK FANTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang