Bagian 1

389 5 2
                                    

“Lin! Lo gimana sih tadi? Hampir ajja lo ngebuang rezeqi pertama kita tadi kalau gw ga ngingetin lo!” ingat John ketika kami berada di tempat biasa kami selesai melakukan kegiatan kami.

“Maaf, Bang,” jawabku pasrah, sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajah lelaki muda itu.

“Lo ada masalah? Bilang ke gw, sapa tahu gw bisa bantu lo,” tawarnya sambil memperhatikan raut wajahku yang murung.

“Ga koq, Bang. Gw cuma masih belum fresh ajja karena kesiangan,” jelasku menunduk, tak berani memperlihatkan wajahku.

“Tumben-tumbenan lo kesiangan Lin, yakin lo ga ada apa-apa?” tanyanya mencoba meyakinkan.

“Iya, ga apa-apa koq, Bang,” jawabku mantap mencoba menutupi kegelisahan hatiku.

*****

Pagi ini aku sengaja berangkat lebih pagi ke halte, berharap bisa bertemu lelaki muda kemarin, dan melakukan rencanaku, rencana yang sudah aku pikirkan matang-matang semalam. Aku terlampau pagi, bahkan Bang John belum datang, padahal dia selalu datang lebih awal. Hampir 1 jam menunggu, akhirnya lelaki muda itu datang, dengan tergesa-gesa dia menuju halte yang mulai rame. Tanpa dia sadari, aku mensejajarkan diriku dengannya, mencoba keberuntunganku kali ini, berharap tidak ada yang melihat, karena aku tidak yakin apakah aku akan berhasil kali ini tanpa adanya Bang John yang biasanya selalu berada di belakangku.

Tak lama, angkot yang ingin dia naiki datang, dan ketika mendapati dia yang mulai bergerak maju menaiki angkot itu, aku memulai aksiku. Dengan lihai mengambil dompetnya serta menjatuhkannya ke bawah, kemudian dengan sigap memanggilnya, berharap aku tidak terlambat.

“Mas, maaf,” panggilku sambil menepuk bahunya, ketika berhasil mengambil dompetnya kembali, dia langsung menoleh menatapku dengan tatapan bingung.

“Ya?” jawabnya sambi mengernyitkan keningnya merasa terganggu karena kami terpaksa harus mundur dari antrian jika tidak ingin membuat kesal calon penumpang yang lain.

“Maaf, apa ini dompet Mas? Dari KTPnya sih bener ini punya Mas,” jelasku sambil menyodorkan dompetnya.

“Ah,” ujarnya ketika menyadari itu dompetnya sambil merogoh kantung celananya, mencoba memastikan, “Iya, ini punya saya, terima kasih yah,” lanjutnya sambil memamerkan giginya yang putih.

“Ah, ya, sama-sama,” jelasku mencoba setenang mungkin, padahal dadaku berdegup kencang, sangat.

“Bagaimana bisa sama Mba?” tanyanya heran setelah menaruh dompetnya kembali di dalam kantung celana hitamnya.

“Tadi terjatuh, jadi langsung saya kasih Mas sebelum Mas naik angkot, kalau sudah keburu naik nanti ga bisa bayar, kasihan,” mencoba menghilangkan gugup aku melanjutkan, “Ah, pantas saya seperti kenal sama Mas, Mas kan yang kemarin nolongin saya sebelum jatuh dari angkot?” dia memutar matanya, mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin.

“Ah, iya. Mba yang kemarin terpeleset itu yah?” jawabnya senang.

“Iyah, dan jangan panggil saya Mba, panggil Lina,” ujarku sambil mengulurkan tanganku.

“Oh, saya Adrian,” jelasnya sambil menerima uluran tanganku.

“Maaf, saya jadi menghambat Mas Adrian, silahkan Mas kalau mau pergi,” ucapku sekedar berbasa-basi, padahal setengah mati aku mengharapkan dia yang terus tinggal.

“Ga apa-apa, saya justru berterimakasih sama Lina. Mungkin Lina bisa panggil saya dengan sebutan Adri saja, jangan pakai kata ‘Mas’,” tolaknya sambil tersenyum.

“Oke, Adri,” ulangku sambil tersenyum lebar, senang atas hasil kenekatanku.

“Angkotnya sudah datang, bukankah Lina juga akan naik di angkot yang sama? Kenapa kita tidak berangkat bersama?” ajaknya ketika mendapati angkot yang sama dengan kemarin mulai mendekat ke halte.

“Ah, tidak. Adri duluan saja, Lina masih harus menunggu teman,” tolakku halus, padahal aku sangat mengharapkan bisa naik bersamanya.

“Oh, oke kalau begitu. Saya duluan yah, Lina,” pamitnya.

“Ngapain lo Lin bengong ga jelas gitu?” tanya Bang John sesaat setelah angkot yang dinaiki Adri pergi.

“Issh, Bang John ngagetin ajja!” protesku kesal.

“Nah, lo kenapa bengong? Ngelihatin apa sih?” tanyanya penasaran dan mengikuti arah pandanganku.

“Ah, udah, ayo, kita udah kesiangan,” ajakku sambil meninggalkan halte.

*****

“Hai, Lin,” sapa Adrian ketika kami bertemu keesokan harinya di halte, membuatku terlonjak kaget.

“Hai, Adri. Koq tumben jam segini udah di halte?” tanyaku setelah pulih dari kekagetanku sambil mencari-cari Bang John, berharap dia belum datang, aku tidak mau Bang John melihat kami bersama.

“Iyah, ada tugas dadakan, jadi terpaksa harus pagian berangkatnya,” jelasnya tanpa menyadari diriku yang tidak terlalu fokus pada dirinya, “Kamu juga pagian berangkatnya,” lanjutnya memaksaku menghentikan kegiatanku melihat kemungkinan adanya Bang John di sini.

“Ah, iyah. Ada yang harus aku urus dulu sebelumnya,” jelasku singkat.

“Oh, oke, aku duluan yah,” pamit Adri ketika melihat bis yang akan dia naiki mendekat.

“Loh, kamu naik bus?” tanyaku heran.

“Iyah, kan ada tugas dadakan, jadi aku harus mampir ke suatu tempat dulu,” jelasnya, “Duluan yah,” lanjutnya sambil berlari mengejar bus, dan aku hanya tersenyum, merasa terselamatkan karena Bang John tidak memergoki kami.

*****

“Kenapa lo tiba-tiba mau ganti daerah operasi kita? Lo kan tahu itu ga gampang, gw harus koordinir yang lainnya dulu. Belum tentu juga mereka mau,” protes Bang John ketika aku menyampaikan keinginanku.

“Ga apa-apa, Bang. Gw udah bosen ajja, lagian yang kita dapet juga segitu-gitu ajja, ya, kali ajja gitu kalo pindah tempat kita bisa dapet yang lebih baik,” jelasku meyakinkan.

“Iya, tapi kan belum tentu ada yang mau tukeran sama kita,” Bang John masih saja berat untuk mengabulkan keinginanku, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku masih ingin berada 1 angkot dengan Adri tanpa dia mengetahui siapa aku sebenarnya.

 “Gw udah tanya Maya sama Bonan, mereka bilang ga ada masalah Bang,” setengah berbisik aku mengatakan itu semua kepada Bang John tanpa berani menatapnya. Aku tahu dengan pasti, Bang John pasti marah, karena dia tidak suka segala sesuatu yang tidak difikirkan dengan matang, dia ingin semuanya terorganisir.

“Apa?” bentaknya tak percaya, dan aku hanya bisa menunduk, “Kenapa sih lo ngotot bangetz? Bukannya nanti jadi makin jauh dari tempat lo?” lanjutnya.

“Percaya deh, kita pasti bakalan berhasil di sana, bahkan kita bisa mengalahkan rekor Maya-Bonan,” aku berusaha meyakinkan Bang John.

“Lo tuh ya kalo udah ada maunya susah dilarang, ya udah coba buktiin omongan lo,” tantang Bang John.

“Pasti!” jawabku semangat.

*****

Kau Curi Hatiku di Angkot Itu (Cerpen)Where stories live. Discover now