Six

4.2K 302 3
                                    

"Michiko-nee!!" Seru seorang anak perempuan berusia dua puluh tahun, yang berhambur langsung ke dalam pelukan Chiko saat keluar dari boarding room bandara.

Chiko tersenyum senang. Dia merindukan adiknya Ichika, yang saat ini masih berkuliah di Todai, fakultas sastra. "Chika, mana Otousan dan Okasan?"

"Mereka masih di boarding room," sahut Ichika. "Apa ini Aikawa-san yang di katakan dekat denganmu, dan sudah melamarmu?" Ichika melirik kr arah lelaki yang berdiri di sebelah kakaknya. "Ohayou, Oniisan!"

Kris menarik sudut bibirnya, "Ohayou!"

Chiko melotot. "Jangan bicara seakrab itu dengan Kris. Kau kan belum mengenalnya! Dan lagi, dia jauh lebih tua darimu."

Ichika membalas lagi dalam bahasa Jepang. "Ih, tapi Kris-nii tidak masalah. Bahkan membalas salamku juga. Bukan begitu?"

"Tentu saja," sahut Kris lagi.

Chiko geleng-geleng pasrah. "Chika, Kris tidak bisa berbahasa Jepang dengan lancar, oke? Jadi, tolong pakai bahasa Indonesia dan Inggris saja."

Chika memandang kakaknya. Tidak biasanya Chiko perhatian kepada kekasihnya. Dulu-dulu, Chiko masa bodoh jika Ichika bertengkar dan tidak akur dengan kekasihnya. Tapi, kali ini berbeda. Seolah kakaknya benar-benar menanggapi serius bahwa 'jangan lakukan sesuatu yang buruk pada Kris!'

Belum sempat Ichika membalas Chiko, orangtua mereka muncul. Sosok lelaki Jepang yang sudah menua, dan istrinya itu pun muncul.

"Ah, ini pasti Tuan Aikawa," kata Ayahnya Chiko. "Ku kira berita di yang beredar di Jepang itu hanyalah kebohongan. Ternyata ini benar-benar terjadi. Astaga, Chiko!"

Chiko menepuk pundak Ayahnya. "Ayah, jangan begitu," balas Chiko.

"Kalian semua bisa bahasa Indonesia?" Tanya Kris kagum.

"Aku bekerja di KBRI Jepang. Tapi beberapa tahun setelahnya aku di tarik untuk menjadi penerjemah ke Kedutaan Jepang di Indonesia, dan aku bertemu dengan Ayu disini, Ibunya Chiko," jelas Ayahnya. "Tak kusangka ternyata Chiko juga menemukan jodohnya di Indonesia, seperti diriku."

"Maaf kalau aku belum sempat bertemu dengan Tuan Nakahara secara resmi untuk melamar putri Tuan."

"Astaga, jangan terlalu formal begitu, Nak. Cukup Paman. Aku tidak akan tersinggung jika kau memanggilku begitu. Ayah juga boleh," tambah Ayahnya Chiko.

Kris tertawa kecil. "Baiklah kalau begitu. Sebelum bertambah macet, sepertinya kita harus mengantar Paman, Bibi dan Ichika ke hotel."

"Ide bagus," jawab Ayah dengan antusias. "Aku sudah lama juga tidak melihat keadaan Jakarta yang macet."

"Paman dan Bibi lama tinggal di Jakarta?" Tanya Kris, sambil berjalan bersama mereka menuju mobilnya.

"Cukup lama. Sampai Chika berumur dua tahun. Karena aku di tarik ke untuk mengajar di Universitas Kyoto."

"Sampai saat ini?" Tanyanya.

Ayah Chiko mengangguk. "Sampai saat ini. Karena mereka kekurangan tenaga pengajar."

Mereka berlima sampai di depan mobil Kris. Lalu menaruh koper dan berbagai barang bawaan mereka lainnya di belakang bagasi mobil Kris. Selanjutnya, Kris mengendarai mobilnya untu membawa Ryo Nakahara, Ayu, Ichika juga Chiko untuk segera menuju Umejima.

-----

Semuanya sudah di atur sempurna oleh David, eh bukan, maksudnya di atur oleh Tevin. Mulai dari reservasi kamar hotel dengan kamar terbaik, dan segalanya.

"Paman dan Bibi bisa tidur disini," kata Kris, "Tidak mungkin kan, kalau Paman dan Bibi tinggal di apartemen Chiko yang sempit sampai akhir bulan?"

Ryo dan Ayu mengangguk paham. "Bagaimana dengan Ichika?" Tanya Ayu.

"Oh, Ichika juga di hotel ini. Hanya saja, dia di lantai bawah. Karena kata temanku, kamar di lantai ini sudah penuh."

Semuanya paham. Kemudian setelah meletakkan barang bawaan mereka, mereka turun ke bawah, untuk melihat kamar Ichika. Selanjutnya, mereka turun ke lantai bawah. Untuk makan siang di restoran Jepang.

Selama makan, tidak banyak yang berbicara, mereka semua sibuk untuk makan dan tidak ada yang membuka suara.

Setelah sesi makan siang itu, Ayu, dan kedua putrinya pergi berenang. Sementara Ryo dan Kris menghabiskan waktu mereka berdua di sebuah coffee shop di lantai dasar.

"Kapan kalian akan menikah?" Tanya Ryo. "Aku ingin melihat cucuku segera. Chiko sudah terlalu sibuk bekerja sejak lulus. Bahkan, dia tidak punya waktu untuk kekasihnya dulu."

"Benarkah?" Tanya Kris, "Tapi dia gadis yan menyenangkan. Sangat senang untuk berada di dekatnya dan mengobrol tentang banyak hal."

"Memang. Tapi kalau dia sudah bekerja, dia akan melupakan orang-orang di sekitarnya. Maka itu, aku menyuruhnya untuk ikut kompetisi Duta Budaya Jepang tahun lalu. Dengan tujuan, dia meninggalkan pekerjaannya yang hanya berhubungan dengan komputer dan barang elektronik lainnya.

"Chiko sedari kecil memang pekerja keras, dan kadang terlalu memaksakan dirinya sendiri. Sampai dia menjadi seorang Duta Budaya saja, dia masih sama kerasnya seperti dulu dia berkutat dengan berbagai rumus matematika dan fisikanya."

Kris dapat membayangkan itu. Dia pun juga demikian. Bekerja di belakang layar komputernya setiap hari hanya untuk merancangkan sebuah software atau aplikasi baru lainnya yang akan di keluarkan Shourai Tech.

"Aku mengerti. Karena sebagai seorang IT, kita di tuntut untuk dapat membuat sebuah perangkat dan aplikasi yang benar-benar baik agar laku di pasaran. Prinsip yang mirip dengan pedagang."

"Kurang lebihnya begitu," jawab Ryo sambil menenggak espressonya. "Aku penasaran. Apa yang membuat dari penerus Shourai Tech. sampai sekarang belum menikah."

Kris tersenyum masam. Dia kemudian menjawabnya. "Aku... pernah menikah."

Ryo tidak terkejut. Wajahnya juga tidak terlihat marah. Sambil bersandar pada sandaran sofanya, dia bertanya, "Lalu, apa yang terjadi?"

"Something happened. Then, one of us have to live in a different world."

Ryo menangkap maksud dari makna tersirat yang di ucapkan oleh Kris. "Chiko sudah tahu soal ini?"

Kris menggeleng. "Aku sendiri tidak sanggup untuk mengungkitnya. Tapi aku tahu kalau aku harus memberitahu Chiko cepat atau lambat. Dan kurasa, setelah bertemu keluargaku, aku akan memberitahunya."

"Chiko tidak bisa memasak."

Kris bergeming, melihat kepada Ryo.

"Tidak bisa menyetrika baju, mengepel, mencuci piring, dan melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya dilakukan oleh perempuan lainnya. Dia pintar memang, tapi dia bukan wanita yang hebat sekali."

"Aku tahu," katanya. Padahal ini kali pertama Kris mendengar hal itu. "Aku menerima semuanya."

Ryo tersenyum. "Apa dia juga tidak bisa memasak, mencuci baju, dan pekerjaan rumah lainnya seperti Chiko-ku?"

Kris menggeleng.

"Kebalikannya?"

"Terlalu sempurna untuk di jelaskan. Dia bisa memasak apapun hanya dengan sekali cicip. Dia bisa menyulam, menjahit, melakukan pekerjaan rumah dengan sempurna tanpa cela. Tipikal wanita yang menyenangkan seperti Chiko, dan wanita impian lelakin manapun."

"Kau merasa beruntung saat bersamanya?" Tanya Ryo.

"Sangat. Melebihi apapun," jawabnya. "Tapi itu dulu. Dan aku tidak hidup d masa lalu, aku hidup di saat ini dan seterusnya begitu."

Ryo mengangkat sudut-sudut bibirnya. "Chiko jauh sekali dari dia. Tapi kuharap kau bisa bertahan dengan perempuan seperti Chiko. Bagaimanapun juga dia adalah putriku, dan aku menyayanginya."

Kris tidak bisa berjanji, tapi dia akan berusaha dalam hatinya, memang masih di penuhi oleh Sawajiri Erika. Tapi di hadapannya kini sudah ada Nakahara Michiko.

Untuk harapan yang di minta oleh Ryo, Kris akhirnya hanya mengangguk, untuk menyanggupinya.

Mr. Business and The Ambassador GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang