Chapter 8

4.3K 136 29
                                    

”Nek, nek...,” panggil Ganis manja.

“Hmm?”

Ganis menarik bangku teras di samping neneknya dan menatap neneknya. “Kok aku nggak punya bunda ya nek? Kok Bunda aku meninggalnya cepet banget ya nek?”

Alila yang masih memegang tas Ganis terdiam mendengar pertanyaan Ganis. Begitu juga dengan tante Tiur yang menghentikan kegiatan minum tehnya dan beralih menatap cucunya itu.

“Ke.. kenapa emangnya sayang?”

Ganis, memainkan seragam tknya –yang baru di dapatkannya satu minggu yang lalu itu- lalu cemberut menatap neneknya. “Abis temen-temen aku, kayak Abigail, Tania, Keysha terus yang lainnya kalau pulang di jemput bundanya nek. Mereka teriak-teriak manggil Bunda.”

“Ganis juga kan punya kak Alila?”

“Tapi kan aku nggak bisa manggil Bunda. Ayah juga bilang kalau Kak Alila itu kakanya aku,”

Alila terdiam. Yah pasti Aria tidak mau anaknya memiliki Bunda yang jatuh bangkrut, tuna wisma dan bermasa depan tidak jelas seperti dia, maki Alila pada dirinya sendiri. Tunggu! Bodoh! Gue mikir apa sih???!!

“kenapa bundanya Ganis perginya cepet-cepet sih oma? Kenapa nggak nanti aja? Kalau Ganis udah beres sekolah? Jadi Ganis kan juga bisa teriak-teriak manggil bunda kalau pulang sekolah?”

Alila berjongkok disamping Ganis dan menatap anak perempuan cantik di hadapannya itu. “Bundanya kakak juga udah nggak ada kok Ganis. Kata ayahnya kakak, kalau bunda kita perginya cepet tandanya tuhan sayang banget sama bunda kita,” sahut Alila. “Ganis bangga kan punya bunda yang disayang banget sama tuhan??”

Mata sedih Ganis berubah menjadi penuh semangat. Senyumannya merekah. “Aku sayang kakak!” Teriak Ganis sambil mencium pipi Alila. “Oma, ayah kan nggak bolehin aku manggil bunda ke kakak Alila, kalau gitu aku manggilnya kakak bunda aja ah!” sahut Ganis semangat sambil berjalan masuk kedalam rumah diikuti oleh Bi Sindah.

Awalnya Alila bersiap untuk mengikuti Ganis, karena setelah ini adalah jadwalnya dia untuk memandikan Ganis. Tapi tante Tiur menahan tangannya.

Perempuan cantik dengan wajahnya yang sudah mulai penuh dengan kerutan dan rambut yang memutih itu tersenyum pada Alila. “Terimakasih ya Al. Kamu tahu? Semenjak ada kamu, Ganis jadi lebih terbuka sama semua orang. Dia juga jadi lebih sering seneng.”

Alila hanya tersenyum tipis. “A.. aku cuma biasa bergaul sama anak kecil aja kok Tan..,” sahut Alila cepat.

*****

“Kenapa sih pangeran es jutek gitu sama gadis kebun???” protes Ganis.

Alila terkekeh pelan, sambil merubah posisi duduknya disamping tempat tidur Ganis. “Hm...,” Alila terdiam. Dongeng pangeran es dan gadis kebun merupakan cerita dadakannya. Belum pernah dibukukan. Hanya cerita spontan. Jadi dia sendiri masih bingung menjawab beberapa pertanyaan Ganis –penikmat pertama dongeng spontannya ini.

“Soalnya gadis kebun itu berlumuran tanah. Dia kan sibuk ngurusin dan ngerawat kebun cantiknya punya pangeran es,” jelas Alila akhirnya.

Ganis terdiam dan menoleh menatap Alila cepat. “Kayak kakak bunda yang ngerawat sama ngurus aku? Hmm.. berarti kalau gitu pangeran esnya ayah dong??” sahut Ganis cepat yang membuat Alila pun terdiam seketika.

Dia terdiam dan kembali mengingat jalan cerita yang selama ini dia dongengkan pada Ganis setelah anak perempuan itu bosan dengan dongeng beruangnya. Pangeran es yang tampan, yang sempurna tapi terlalu dingin sedingin es –Aria- pada gadis lusuh –Alila- yang merupakan pengurus kebunnya –Ganis. Well, memang. Anehnya dia sendiri tidak sadar.

Miss Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang