Chapter 3

3.7K 80 5
                                    

Well, semua terlalu cepat.

Alila diam menatap seluruh penjuru ruang kamarnya. Kamar yang tidak berubah sejak dia kecil. Sejak keluarganya masih itu, dengan mama dan papa. Yah.. semuanya tidak ada yang berubah di rumah ini. Tidak ada, kecuali hidupnya sendiri. Atau.... mungkin rumah ini juga akan berubah bentuk? Mungkin pemilik barunya ingin merubah bentuk rumah ini?

Alila kembali terdiam. Kembali menimbang tawaran tante Tiur –well, ibu dari pemilik baru rumah ini yang mungkin seumur dengan ayahnya dan kebetulan teman ayahnya itu menyuruhnya memanggilnya seperti itu.

Ponselnya bergetar. Om Hadi.

“Ya om? Jadi gimana?” tanya Alila langsung.

Terdengar desahan panjang di telepon. “Om masih belum bisa menemukan adik angkat ibu kamu Al..., tapi... mereka memang nggak bohong. Pihak bank memang menyita rumah kamu itu Al..”

Alila menahan air matanya dengan mendongakan kepalanya menatap langit-langit kamarnya. Dan semuanya berakhir. Sekarang, setelah satu-satunya orang yang paling dia sayangi meninggal, satu-satunya rumah yang paling berharga miliknya pun sudah berpindah tangan.

“Makasih banyak ya om..,”

“Al..., kamu bisa tinggal di rumah om. Rumah om selalu terbuka buat kamu. Kalau-kalau kamu lupa-”

“Nggak om, aku nggak bisa ngerepotin om terus. Makasih banyak ya om..,”

Dan setelah menyemangati Al –seperti biasa- om Hadi pun mematikan teleponnya.

Dia pun melepas kacamatanya dan memijat pelipisnya sambil kembali mempertimbangkan tawaran tante Tiur: menjadi ‘teman’ cucunya yang masih berumur empat tahun, anak dari laki-laki yang dari tadi hanya menatapnya datar, tetap tinggal di rumah ini, dan dia berjanji tidak akan merubah bangunan ini kecuali 3 kamar yang akan mereka pakai dan beberapa ruangan agar lebih nyaman. Atau pergi dari rumah ini dan tidak bisa lagi berada di rumah ini –tentu saja karena sudah menjadi milik orang lain.

Alila menarik laci meja belajarnya, menatap buku tabungannya. Nggak mungkin gue bisa dapet kontrakan layak dan hidup dengan uang empat juta, batin Al.

Sambil meringis menatap buku tabungannya, Alila menghembuskan nafas panjang. Yah, tawaran teman ayahnya itu memang tidak merugikan. Menguntungkan malah. Tapi, entah kenapa Alila ragu. Dia tidak mungkin menjadi orang lain di dalam keluarga anak tante Tiur.

Pintu kamarnya terbuka. Dengan cepat Alila menoleh dan menatap bingung anak perempuan kecil dengan rambut hitam ikal yang sedang berdiri di sana sambil memeluk boneka beruangnya.

“Maaf... aku nggak kira ini kamarnya ayah.” Sahut anak itu dengan tatapan ragu dan takut pada Alila.

Alila pun tersenyum. Well, dia seorang penulis cerita anak, terlalu cinta dengan anak kecil, jadi tidak akan mungkin dia bisa membiarkan anak kecil itu bergitu saja.

Alila berlutut mensejajarkan tingginya dengan anak kecil di hadapannya. “Nama kamu siapa?” tanyanya sambil tersenyum lebar.

Ganis sesekali melirik dari balik poni rambutnya, lalu membalas uluran tangan Alila. “Aku Ganis.”

“Aku Alila,” sahut Alila semangat.

“Tante Al-”

“Jangan panggil tante ah, panggil kakak aja. Oh ya, aku punya banyak buku  cerita loh! Ganis mau nggak?”

“Buku cerita? Kayak dongeng tidur?”

Alila langsung mengangguk semangat sambil bangkit dan menggenggam tangan anak kecil itu masuk kedalam kamarnya, tanpa menutup pintu kamarnya.

Miss Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang