Kasihan Atau .....?

387 35 0
                                    

Hari Jumat bagi setiap salon adalah puncaknya hari. Disebut begitu karena pada hari Jumat bisa terjadi dua hal. Pertama, puncak keramaian, dimana salon menjadi sangat ramai oleh kehadiran pelanggan yang punya acara untuk Sabtu keesokan harinya, atau sekedar persiapan week-end dan kedua, puncak kesepian, salon justru sangat sepi karena tidak ada acara penting di hari Sabtu dan pelanggan memutuskan untuk bersalon di hari Sabtu atau hari Minggunya sekedar untuk perawatan rutin.

Yang terjadi di Imel's Salon malam itu adalah yang kedua. Pelanggan sangat sepi. Hingga menjelang malam pekerjaan Mey hanya menonton televisi menyaksikan ragam acara pencarian bakat yang tayang hampir serempak di beberapa stasiun televisi swasta.

"Mas Imel.... Suara si Hasan ini bagusnya nek.... " Mey berteriak kegirangan saat jagoan kesukaannya tampil. Sambil nonton, tangannya tak berhenti memegang sebuah telepon selular keluaran Cina terbaru. Rupanya Mey sibuk meng-sms ke nomor yang diberikan oleh pembawa acara pencarian bakat itu. Imung sesekali melirik ke arah Mey, walau dia tahu Mey tak menginginkan jawaban.

"Mas Imel.... Transferin pulsa dong... pulsa Mey abis Mas... ntar potong dari gaji Mey aja Mas..." Mey berteriak lagi. Imung tersenyum. Geleng-geleng kepala dia. Setiap hari Jumat seperti sudah menjadi tradisi minta pulsa oleh Mey. Imung menyambar hapenya yang ditaruh di atas meja. Menekan beberapa digit nomor dan kemudian menaruh hapenya kembali.

"Udah ya nek... cekidot..." kata Imung.

"Makasih Mas Imel sayang...." Balas Mey senang. Imung kembali melanjutkan membaca. Kali ini dia berpindah ke suatu majalah fashion.

Hujan deras yang mengguyur Surabaya malam itu rupanya membuat orang-orang malas keluar rumah. Apalagi hanya untuk sekedar ke salon. Masih ada hari Sabtu. Mungkin begitu pikir mereka. Lebih enak tidur nyenyak berselimut diiringi suara rintik hujan.

"Mey, jangan lupa yeti kunci pagarena ya...." Imung nampaknya sudah malas membaca dan bergerak menuju tangga hendak ke kamarnya.

"Oke doke bosse..." Mey menjawab seenaknya sambil matanya tetap tak beralih dari layar kaca. Imung hanya bisa geleng kepala. Sejak salon itu berdiri Mey memang sudah bekerja dengannya. Mey bisa bekerja dengan Imung atas rekomendasi ibu Imung. Entah ibunya Mey itu saudara dari mana dengan ibunya, Imung tak tahu. Yang jelas waktu itu ibunya minta agar Mey bisa bekerja dengan Imung. Hitung-hitung membantu ibunya Mey yang bernasib kurang lebih sama dengan ibu Imung. Ibunya Mey juga tinggal sendiri. Hanya dia dan Mey yang tinggal. Bedanya, ayah Mey sudah meninggal sementara ayah Imung? Tak ingin Imung berlama-lama melamunkan perihal ayahnya. Hanya membuat sakit hati saja, pikirnya.

Acara pencarian bakat itupun usai. Tidak ada pengumuman saat itu siapa yang harus keluar. Pengumumannya nanti dua jam lagi. Saat semua orang sudah terkantuk-kantuk. Tapi ya di situlah sisi menariknya tayangan sejenis ini di televisi. Jam tayang diperpanjang manakala rating sudah tinggi. Iklan yang diraup semakin banyak. Ujung-ujungnya untung yang diraih juga semakin besar.

Mey bergerak dengan malas. Hujan di luar belum berhenti. Dicari Mey kunci pagar berwarna hijau itu. Kuncinya biasanya tergabung dengan kunci rumah mulai dari pintu depan hingga pintu dapur. Untuk menambah aman, Mey mengusulkan penambahan rantai besar seperti rantai kapal yang kemudian digembok. Imung setuju-setuju saja. Lagian, Imung tak pernah repot memikirkan keamanan salon sekaligus rumahnya itu. Kalau sekiranya ada maling masuk ya disikat saja dengan Krav Maga yang dikuasainya.

Sambil mencari-cari kumpulan kunci itu, Mey melihat ke arah pagar depan. Dari ruang tengah memang sangat leluasa memandang langsung ke halaman hingga ke pagar depan. Tirai penutup jendela biasanya dibiarkan saja terbuka, terikat pada kedua sisinya. Tampak seorang perempuan muda sedang berjalan agak tertatih. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Mey menjulurkan lehernya supaya agak lebih tinggi. Dilihatnya perempuan muda itu kehujanan di luar. Tak ada barang bawaan yang menyertai perempuan itu. Langkahnya gontai dan sedikit tak beraturan. Ngapain tuh cewek jalan hujan-hujan gindang, mabuhay kali ya? Pikir Mey menebak-nebak kenungkinan apakah perempuan itu sedang mabuk. Mey menggelengkan saja kepalanya. Di kota setengah metropolitan seperti Surabaya memang bukan musimnya lagi mengurusi orang lain. Nanti kalau diurusi dikira kepo lagi, pikir Mey sambil melanjutkan mencari tumpukan kunci itu. Ternyata tumpukan kunci-kunci rumah itu ada di dekat meja dimana Imung tadi membaca koran dan majalah. Tertutup oleh tumpukan koran-koran. Dasar Mas Imel, ngerjain aja, pikir Mey. Setelahnya Mey langsung berjalan menuju pintu pagar. Tak lupa disambarnya sebuah payung dari pinggir pintu.

Bukan Banci BiasaWhere stories live. Discover now