Prolog

4.9K 53 14
                                    

Aku berlari di tengah hujan deras. Aku melihat jam tanganku, ini sudah termasuk larut, 22:45. Aku harus segera tiba di asrama sebelum gerbang besar itu di tutup. Aku sudah berkomplot dengan Janish, temanku, agar pagar asrama itu tetap terbuka sebelum ku tiba.

Jamku sudah menunjukkan 22:53 aku mencoba menghubungi Janish, tapi ponselnya tak kunjung di angkat. Apa dia sudah tidur? Aduh, bisa gawat ini. Pintu gerbang di tutup 7 menit lagi. Itu sih teorinya. Prakteknya pintu gerbang asrama akan ditutup lebih cepat karena penjaga asrama kadang malas menunggu hingga pukul 23:00 dan memilih untuk menutup segera gerbang lalu minum kopi sambil nonton pertandingan bola.

Aku tiba di depan asrama pukul 22:57. Gerbang asrama tidak tertutup. Terbuka, terbuka sangat lebar malah. Banyak mobil polisi di depan gerbang. Apa yang telah terjadi? Aku berlari cepat namun mencoba tak terlihat satpam asrama. Yah, terkadang harus berlagak seperti petugas kepolisian ketika aku merasa ada mata yang menatapku curiga. Ah, akhirnya lolos juga dari gerbang depan. Awas saja si Janish kalau aku bertemu dengannya. Bisa-bisanya dia tidak mengangkat telponku.

Aku masuk ke dalam kamarku dan segera mandi air hangat sebelum aku masuk angin karena kehujanan. Aku membawa ponsel ke dalam kamar mandi. Yah, obsesi menjadi penyanyi. On my list is Fear-Creed. Kegiatan di kamar mandi adalah kegiatan yang tidak bisa diganggu. Apa lagi kalau musik-musik Creed sudah mengalun lantang. Jingkrak-jingkrak sudah menjadi kegiatanku di samping mandi.

Setelah selesai mandi aku menyalakan radio dengan musik klasik di kamar. Aku membuka-buka buku matematika. Ah, persoalannya begitu-begitu saja. Deferensial, atau turunan. Ini sih perkembangan dari limit. Hmm, otak-atik yah 15  menit kemudian aku berhasil mengerjakan 10 nomor tugas matematika. Ah iya, Janish kok tidak ada di kamar ya? Hmm, mungkin dia lagi mengajarkan anak-anak lain matematika. Maklumlah, dia orang paling jenius yang pernah ku temui. Aku dan Janish disebut duo integral. Jangan tanya kenapa padaku. Orang-orang yang menjuluki kami begitu. Padahal integral juga bukan materi yang sulit bagi kami berdua.

Aku membereskan buku catatan dan bersiap untuk tidur. Kerja malam itu membuatku lelah. Sebenarnya pihak sekolah melarangku untuk kerja malam. Tapi aku tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan sekolah kalau aku tidak bekerja.

"Dok..dok..dok," pintu degedor oleh seseorang. Mungkin Janish. Tapi buat apa dia menggedor pintu, toh ini juga kamarnya.

Aku beranjak meninggalkan kasur tercintaku dengan malas. Aku mengintip dari lubang kecil di pintu untuk memastikan siapa orang yang menggedor pintu itu. Bukan Janish ternyata, dia adalah Rina. Seorang yang tinggal di kamar sebelah.

Aku membuka pintu dan melihat lebih jelas dirinya. Matanya sembab seperti habis menangis. Dia tidak mungkin datang untuk curhat padaku. Aku adalah gadis paling malas mendengar orang curhat. Bukannya aku tidak perduli, tapi masalah mereka kadang terlalu sepele sedangkan mereka hanya membesar-besarkan.

"Apa?" tanyaku singkat.

"Janish.. hiks," katanya dan air matanya mulai keluar dari matanya yang sudah sembab.

"Janish tidak ada. Sepertinya dia mengajarkan matematika di kamar lain," kataku kemudian hampir menutup pintu. Rina menahan pintu itu tertutup.

"Kau tidak tau?" tanyanya. Tau? Tau apa? Dia tidak pernah menceritakan masalahnya padaku. Kenapa juga aku harus tau.

"Janish sudah meninggal. Mayatnya di temukan di taman belakang asrama," kata Rina. Janish? Meninggal?

"Kau tidak bohong?" tanyaku. Tidak mungkin Janish. Dia bukan orang yang penyakitan, tidak punya masalah yang berarti sehingga dia bunuh diri, dia juga orang yang ramah-berbeda denganku-dan banyak yang menyukainya.

Dia menggeleng. Aku kemudian berlari ke arah gedung belakang asrama dan teringat banyaknya mobil polisi. Ah, kenapa aku tidak sensitif sih. Aku menemukan banyaknya kerumunan. Aku mencoba menerobos kerumunan itu. Tapi tidak mudah.

C A S EWhere stories live. Discover now