A Wedding

79.7K 1.3K 67
                                    

Aira.

Aku menatap tubuhku yang berbalut kebaya modern berwarna keemasan di cermin panjang yang ada didalam kamarku. Menatap dari ujung kaki sampai kepala, perfect! Aku menyeringai lebar. Nggak salah pilih penata rias, meskipun setengah-setengah –setengah laki setengah perempuan—si Hessel pinter juga mendadaniku sampai seperti ini. Seperti yang kumau, simple, nggak menor, terkesan cantik dan elegan. Aku melirik jam didinding kamarku, jam 9 lebih 30 menit. Ijab Qobul akan dilaksanakan 30 menit lagi, yaa...hari ini aku akan menikah, Yeah dengan si gendut itu. Aku berdecak kesal mengingat wajah si gendut yang akan jadi suamiku nanti. Tapi sebenarnya dia imut juga. Lagipula itu pilihan Mama, aku rasa aku tak perlu mengkhawatirkannya. Selama ini pilihan Mama tak pernah mengecewakanku. Semoga kali ini juga. Kalau dipikir-pikir, pernikahanku sebenarnya agak-agak ajaib. Ceritanya begini…

Tahun ini usiaku menginjak 27 tahun. Aku sih santai santai saja, lagipula aku masih asyik mengejar karierku sebagai seorang Manajer penerbitan. Awalnya, Mama tak pernah mempermasalahkan kapan aku akan menikah, aku cukup diberi kebebasan untuk memilih apa yang aku inginkan, baik itu tentang karier ataupun, cinta. Sampai suatu saat, tepatnya tiga bulan yang lalu, pacar—okay sekarang jadi mantan—meninggalkanku untuk menikah dengan gadis lain. Bahkan dia menikah saat status kami masih berpacaran! Hoho, jangan tanya bagaimana Mama mencak-mencak, sebenarnya Mama tak terlalu suka aku pacaran dengan Fadli—nama lelaki itu, FYI, Fadli itu putra tante Hamidah, yang notabenenya adalah saingan Mama semasa muda dulu, konon tante Hamidah yang merebut pacar Mama kala itu—untuk hal ini Mama tak mengijinkanku untuk cerita ke Papa, hahaha—jadi ya semcam dendam masa lalu begitulah. Meskipun akhirnya, Baik Mama maupun Tante Hamidah tidak ada yang menikah dengan lelaki masa lalu itu. Mama bilang, ini siasat Tante Hamidah buat balas dendam sama Mama, hadoh mungkin memang Mama yang terlalu banyak menonton sinetron jadinya parno begitu. Semenjak itulah Mama terus-terusan memaksaku untuk segera menikah. Saking sebalnya, akhirnya aku menantang Mama untuk mencarikanku calon yang lebih baik segala-galanya dibanding Fadli.

 Tak kusangka ternyata Mama sangat antusias mencarikanku suami. Padahal dulu, Mama paling ogah menjodohkanku. Soalnya Mama dan Papa dulu korban perjodohan, ya meskipun akhirnya saling cinta dan menghasilkan aku dan Bastian sih, tapi tetap saja Mama membiarkanku untuk memilih calonku sendiri. Setelah aku melemparkan urusan jodoh-jodohan itu ke Mama, entah dengan cara apa 3 minggu kemudian Mama dengan wajah berbinar mengatakan bahwa beliau telah mendapatkan calon untukku.

Aku tahu sih Mama semangat, tapi aku hanya tidak menyangka akan secepat itu. Yasudahlah akhirnya aku terima saja pilihan Mama itu.

Mungkin cinta kan ada....karena terbiasa....

Lirik lagu dari vocal grup Tangga itu terngiang di telingaku. Hm...Almira Sahda Putri, kamu pasti bisa! Batinku menyemangati diriku sendiri. Aku bercermin sekali lagi sekedar final check. Saat aku mendengar obrolan 2 orang gadis yang entah bagaiman ceritanya bisa berada di depan jendela kamarku yang berhadapan langsung dengan halaman rumahku.

“Duh, gue kok jadi kasian ya sama pengantin ceweknya, siapa namanya? Aira?”

Eh, kok namaku disebut-sebut. Berdasarkan insting kepoku, aku mendekat ke arah jendela, sedikit menguping nggak papa kan ya?

“Iya, Almira, tapi panggilannya Aira kalau nggak salah,” sahut gadis yang satunya,

Ih, ini cewek berdua bodor banget. Ngomongin orang tepat didepan kamarnya.

“Lu tau nggak kenapa mobil pengantin cowoknya dateng belakangan?”

“Biar efek dramatis kali, kayak drama-drama gitu,”

“Ish, bukan.”

“Lha, sih?”

“Sebenernya pengantin cowoknya itu mau kabur?”

A Wedding-After Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang